“The transition process will require a lot of patience and a high absorption capacity for frustations on all sides for many years to come. Democarcy in Indonesia hast just taken its first small and hesitant steps. The future of democracy in Indonesia remains highly uncertain.”
(Rainer Adam, Consolidating Democratic Gains: The Indonesia Experience.[1])
Kelokan perjalanan transisi memang selalu melelahkan untuk dicermati dengan segenap perhatian ataupun keprihatinan. Di dalamnya saling-silang persoalan bertemu membentuk patahan dan tak jarang gugus persoalan baru muncul menyemaraki ragam persoalan yang tentu menjadi semakin rumit.[2] Dalam kondisi demikian dua kemungkinan setidaknya akan menjadi latar depan dari transisi demokrasi ; pertama, involusi yang dimunculkan oleh antiklimaksnya gagasan restrukturisasi kehidupan kebangsaan dalam segenap bidang. Gejala ini bisa mengemuka dalam kasus tumpulnya berbagai pisau analisis yang digunakan untuk membedah persoalan guna menyiapkan “jalan alternatif” untuk perbaikan tata kehidupan, ataupun menjadi lumpuhnya pranata-pranata demokrasi yang ada untuk menggerakkan satu agregat menyeluruh yang menyertakan segenap elemen bangsa di dalamnya.
Kedua, sebagai konsekuensi ikutan dari yang pertama, munculnya kelelahan yang menghinggapi psiko-politik masyarakat.[3] Kondisi demikian terjadi lebih karena masyarakat tidak memiliki energi yang memadai untuk mengikuti segenap liku penguraian masalah yang begitu menumpuk, dan pada banyak segi berlangsung di wilayah politik yang begitu jauh dari struktur kognitif dan kesadaran politik mereka. Bersamaan dengan itu mereka dihadapkan pada kondisi ekonomi yang belum juga memperlihatkan grafik naiknya. Lesunya kehidupan ekonomi pada beberapa segi juga sepertinya menginspirasikan gerak mundur masyarakat dalam pemupukan kesadaran politik. Sehingga di aras permukaan muncul satu gejala dalam mana masyarakat seperti diajak untuk memilih antara meneruskan langkah perbaikan tata kehidupan politik ataukah mengamankan kehidupan ekonomi mereka yang semakin melesu.
Fenomena demikian dalam beberapa segi barangkali bukanlah monopoli Indonesia karena memang ia lazim terjadi dalam setiap proses transisi.[4] Pengalaman beberapa negara-negara dunia ketiga memberikan contoh yang baik bagi persoalan tersebut[5]. Namun benarkah kita sedang mendorong proses transisi politik, tapi dari kondisi apa menuju apa? Di aras manakah perubahan telah terjadi? Dan bagaimanakah seharusnya perubahan itu kita sikapi? Jikapun harus melanjutkannya siapakah yang seharusnya menjadi aktor penggerak dari transisi tersebut ?
Pertanyaan mendasar di atas akan memandu kita ke halaman-halaman berikutnya. Tulisan ini tidak memaksakan satu pretensi untuk menggeluti segenap persoalan yang melingkupi “proses transisi” yang tengah berlangsung. Sebaliknya, tulisan ini akan mencoba memfokuskan diri pada bagaimana transisi mengalami pemaknaan dalam perjalanan kehidupan kebangsaan kita dan melalui apa ia menyalurkan manifestasinya. Kedua persoalan ini pada tahap tertentu akan sangat berkait dengan bagaimana perubahan konstruks politik terjadi di negeri ini. Selanjutnya kita akan mencoba kembali mengulas “rasio kecukupan modal” yang dibutuhkan untuk melanjutkan proses transisi yang kini tengah berjalan, meski lambat dan tak jarang membuka kembali potensi persoalan-persoalan baru di sana-sini.
Transisi demokrasi
Definisi terbuka dan sangat sederhana menyangkut transisi kita temukan setidaknya dalam hasil kerja Woodrow Wilson International Center for Scholar saat mensponsori serangkaian pertemuan bertajuk “Transisi dari Pemerintahan Otoriter: Prospek Demokrasi di Amerika Latin dan Eropa Selatan”.[6] Menurut mereka, transisi merujuk pada interval (selang waktu) antara satu rezim politik dan rezim lainnya.[7] Proses ini dibatasi, pada satu sisi, oleh proses perpecahan sebuah rezim otoritarian, dan di sisi yang lain, oleh pengesahan beberapa bentuk demokrasi, kemba;inya bentuk pemerintahan otoriter, atau kemunculan suatu alternatif revolusioner. Ciri umum dari masa ini setidaknya adalah tidak menentunya aturan main politik yang ada. Bukan semata karena aturan tersebut beroperasi dalam perubahan yang terus-menerus terjadi, namun juga karena ia mengalami kontestasi secara sengit di meja analisis.[8]
Definisi itu menginspirasikan kepada kita bahwa transisi adalah satu momentum perubahan yang distimuli oleh adanya perpecahan dalam tubuh rezim otoriter suatu negara. Perpecahan ini secara keseluruhan menyangkut kredibilitas satu rezim di hadapan konstituensi politik masyarakat dan konfigurasi aktor-aktor yang tergabung di dalamnya. Latar depan dari kondisi ini umumnya mengemuka dalam perubahan performance satu rezim, atas nama apapun, dengan memodifikasi peraturan-peraturan mereka sendiri sebagai bagian dari upaya untuk memobilisasi kembali dukungan dan legitimasi terhadap pilihan dan tindakan politiknya.
Kondisi demikian kiranya mewarnai fase akhir kekuasaan rezim Orde Baru dalam mana Soeharto yang, dari sudut tipologi kekuasaannya, secara bersamaan menyandang beberapa watak dan atribut; pemerintahan otoriter birokratik, pemimpin rezim militer, dan diktator perorangan,[9] telah menunjukkan kemauannya untuk melakukan beberapa perubahan.[10] Pilihan ini secara umum dipicu oleh kondisi perekonomian yang mulai mencemaskan memasuki dekade 80-an. Sebuah kondisi yang diakibatkan oleh turunnya harga minyak paska booming harga minyak di paruh kedua 70-an yang memompa devisa secara luar biasa dan bahkan surplus APBN. Kesulitan ini memang tidak saja menimpa Indonesia namun juga negara-negara berkembang seperti Thailand dan juga Birma (kini Myanmar). Keadaan ini memaksa pemerintah untuk menerapkan pembaruan kebijakan ekonomi, misalnya, penurunan defisit anggaran belanja, pembaruan sistem perpajakan, liberalisasi dunia perbankan, serta tentunya pemberian peluang yang luas kepada pihak swasta untuk mengembangkan usahanya.[11] Hanya saja fakta yang kemudian muncul sebagai episode lanjut dari liberalisasi tersebut tidak terlalu menguntungkan bagi para protagonis demokrasi[12] sampai akhirnya ia dipaksa bertekuk lutut oleh krisis perbankan yang akut dan memantik gelombang protes. Namun di tahap-tahap inilah sebenarnya proses transisi menyemai bibitnya.
Tipologi penguasa Orde Baru memang sulit untuk dikategorikan dalam salah satu dari ketiga corak yang ada. Kesulitan ini muncul akibat dari melekatnya ciri berbagai tipologi yang sekaligus disandang oleh Orde Baru secara bersamaan. Namun begitu untuk segera mengenali “jenis kelamin” dari transisinya, cukup inspiratif kiranya jika kita memulai pembahasan ini melalui tiga model perubahan dari rezim otoriter menuju demokrasi sebagaimana diintrodusir oleh Huntingnton, yang pada beberapa segi memiliki kesamaan tipikal dengan model yang juga diperkenalkan oleh Donald Share dan Scott Mainwaring.[13] Tiga tipe proses transisi itu menurut Huntington adalah; transformasi (transformation), pergantian (replacement), dan transplacement.
Meski dalam perkembangannya teramat sulit menerapkan ketiga kategori transisi tersebut secara ketat terhadap satu negara, termasuk Indonesia, tapi setidaknya kita bisa mengidentifikasi tiga varian interaksi yang menjadi elemen fundamental dalam menggerakan ketiga jenis transisi tersebut; 1. interaksi antara kelompok pemerintah dengan kelompok oposisi; 2. interaksi antara kelompok pembaharu dan kelompok konservatif dalam tubuh koalisi pemerintahan; dan 3. interaksi antara kelompok moderat dan kelompok ekstrimis radikal dalam kelompok oposisi. Ketiga varian interaksi ini secara umum membingkai model artikulasi masing-masing faksi dalam kedua kelompok yang ada (pemerintah dan oposisi) untuk memenangi persaingan. Bobot konflik dan kooperatif yang dimunculkan dari masing-masing potensi aliansi pada akhirnya akan sangat menentukan proses transisi itu secara keseluruhan.[14]
Hanya saja ketiga varian interaksi tersebut sepertinya juga akan tumpul untuk membedah dialektika antar kelompok-kelompok kepentingan di masa transisi ini. Kesulitan muncul ketika harus mengidentifikasi kelompok manakah yang sebenarnya pro-perubahan, dan selanjutnya mungkin melakukan aliansi dengan mereka. Hal ini kiranya disebabkan oleh tidak satupun dari kelompok-kelompok yang ada (dalam pemerintah ataupun penentang) memiliki ideologi sandaran yang jelas. Dalam konteks seperti ini, jika Huntington hanya bisa membayangkan kemungkinan terjadinya aliansi antara kelompok reformis dalam pemerintahan dengan faksi moderat ataupun ekstrim dalam kelompok penentang. Maka kita di Indonesia akan sangat mungkin untuk membayangkan bahwa seorang jenderal yang begitu konservatif sekalipun bisa melakukan dialog (dan mungkin selanjutnya aliansi) dengan faksi ekstrim dalam kelompok penentang. Kemungkinan ini lahir dari fakta kosongnya kepolitikan indonesia dari ideologi sebagaimana disinggung di atas. Sehingga bandul perubahan tidak sama sekali digerakkan oleh sinaran ideologi tertentu melainkan murni pergesekan kepentingan kelompok-kelompok yang sedang berebut kekuasaan.
Dalam kaitan ini kita menemukan beberapa kesulitan untuk membayangkan Indonesia memilih jalan revolusi secara radikal mengingat absennya berbagai prasyarat bagi satu revolusi sosial.[15] Hal ini mengingat bahwa revolusi merupakan pernyataan akhir dari suatu keinginan otonom dan emosi-emosi yang mendalam serta mencakup segenap kapasitas pengorganisasian maupun ideologi protes sosial yang diorganisisasikan secara terpadu. Dengan logika demikian, sebab-sebab revolusi kemudian tidak hanya difahami melalui watak dan karakter yang melekat pada peristiwa-peristiwa temporer ataupun frustasi marjinal dan kegelisahan semata. Ia menyimpulkan pergeseran atau ketimpangan yang sangat fundamental dan perpaduannya dengan kekuatan sosial, maupun konflik golongan yang lebih dalam dengan spektrum cakupan yang luas.[16] Dan dalam perkembangannya gradualisme sepertinya menjadi pilihan paling populer di kalangan kelompok-kelompok pro-demokrasi untuk mengelola transisi menuju demokrasi meski dengan menyertakan banyak sekali catatan kaki, keraguan, dan bahkan cacian.[17]
Jika kita cermati dengan seksama, pilihan terhadap reformasi sebenarnya telah dipostulasikan oleh kondisi umum konstruk kepolitikan Indonesia masa Orde Baru yang tidak sama sekali mengenal konsep oposisi sebagai akibat dari penyeragaman yang terjadi secara besar-besaran.[18] Introduksi rezim terhadap berbagai tabu politik dan perbedaan pada gilirannya memang berhasil mengkonsentrasikan seluruh energi masyarakat untuk mendukung program pembangunan yang kemudian didefinisikan sebagai ekonomi pertumbuhan. Kebijakan tersebut pada satu segi diorientasikan untuk menjawab konstituensi politik masyarakat yang menginginkan perbaikan kondisi perekonomian secara cepat, dan pada segi yang lain memuluskan konsolidasi politik dengan memperkecil partisipasi politik dan melokalisirnya ke dalam saluran-saluran yang telah disubordinasikan terhadap kekuasaan. Dan dalam kondisi demikian faktor terpenting yang harus selalu diperhitungkan oleh kelompok-kelompok penentang adalah kohesivitas rezim yang dimapankan oleh fasilitas ekonomi ataupun promosi politik tertentu.
Membayangkan akan terjadinya perubahan konstruks politik dalam kondisi demikian tentu akan sangat susah. Kuatnya jaringan politik dan mesin kekuasaan Soeharto, pada satu sisi, dan lemahnya jaringan penentang pro perubahan, pada sisi yang lain telah memperhadapkan dua kutub kekuatan yang tidak sama sekali berimbang. Sehingga kalaupun gelombang krisis yang menimpa negara-negara Asia Timur tidak menghampiri Indonesia tentu sulit membayangkan akan terjadi perubahan. Dan bertekuk lututnya Soeharto dalam sergapan krisis seakan menjawab pertanyaan yang semula teramat sulit untuk dicari jawabnya; kapan perubahan akan terjadi?
Ditunjuknya Habibi untuk memimpin jalannya transisi oleh Soeharto memang memberikan harapan tersendiri, meski bukannya tidak menyisakan masalah. Latar belakang politik Habibi yang tidak memiliki akses untuk menguasai dua mesin utama Orde Baru, yaitu Golkar dan Militer, sedikit banyak menepis kemungkinan munculnya Habibi menjadi tiran baru. Performance politik Habibi yang lunak dari awal ditambah berbagai terobosan yang diambilnya untuk membuka katup perubahan –mulai dari pembebasan Tapol/Napol, mengakhiri sentralisme otoritas wadah-wadah tunggal politik, pembebasan pers, hingga keberaniannya untuk mengabaikan keberatan kalangan militer untuk melepaskan Timor-Timur- memang cukup memberikan jaminan akan komitmennya terhadap perubahan. Namun sergapan krisis legitimasi yang dialaminya memunculkan keraguan dalam mengorganisasikan perubahan secara menyeluruh. Dan pemberlakuan tiga RUU Politik terhitung sejak Februari 1999 menampilkan verbalitas jawaban politik Habibi terhadap berbagai keraguan yang dialamatkan kepadanya.
Rencana penyelenggaraan Pemilu pada pertengahan 1999 tersebut sekaligus juga menggeser gerak perubahan yang awalnya digerakkan oleh protes mahasiswa dan dukungan para tokoh serta masyarakat, ke arah perubahan yang digerakkan oleh partai politik yang akan berlaga di Pemilu. Gerak perubahan yang awalnya berdimensi moral bergeser ke dimensi politik yang, atas nama demokrasi, tentu akan juga mengizinkan para petualang lama pro-status quo untuk rame-rame ikut serta dalam Pemilu. Dan untuk kasus Indonesia, menyerahkan mandat perubahan kepada partai bukannya tidak problematik. Sebagaimana pernah ditulis oleh Faisal Basri, partai-partai umumnya menderita kelemahan dalam hal tidak adanya visi jangka panjang, tidak jelasnya ideologi dan program, serta kuatnya tumpuan pada kharisma personal,[19] bukan tidak mungkin pada kondisi-kondisi tertentu, terutama di aras pembuatan kebijakan, akan menjadikan partai sebagai lahan baru menyemaikan calon-calon tiran dan hegemon yang mengerikan.[20]
Konstruks politik yang melandaskan solidaritas internalnya kepada kharisma pada beberapa segi akan mengalami kesulitan untuk mendesain satu agregat kepolitikan yang menyertakan populisme pemilih dalam masyarakat, terutama jika kita harus berbicara tentang program-programnya.[21] Selain itu kondisi demikian, jika berlebihan, akan kembali mengantar kita pada sentralisme otoritas kepada figur-figur personal dan bukannya sistem. Kehidupan kepartaian akhirnya menderita kelemahan tatkala watak kebijakannya menjadi begitu personal, mempribadi, dan menyertakan sentimen-sentimen primordial semisal ikatan kekeluargaan ataupun pertalian patron-klien dan ataupun sentimen kedaerahan.[22] Kondisi demikian pada gilirannya akan menyuburkan alienasi politik yang diakibatkan oleh jarak sosial antara politisi partai dengan masyarakat konstituennya. Ia mengkontradiksikan heterogenitas sosiologis publik pemilih (yang terpecah-pecah dalam berbagai kategori dan unit satuan sosial) dengan homogenitas para elite (yang diikat oleh ikatan kekeluargaan, patron-klien, dan kesamaan status sosial). Jarak sosial ini pula yang akan melahirkan distansi yang begitu lebar antara visi, program, dan kebijakan di tingkat partai dengan struktur kognisi dan wawasan politik masyarakat.
Kampus dan Menara Gading
Di hadapan fakta seperti ini setumpuk agenda transformasi menjadi beban seluruh elemen prodemokrasi, termasuk di dalamnya gerakan mahasiswa, untuk mencari terobosan dan formulasi konseptual bagi upaya menggiring kehidupan politik kebangsaan pada rel-rel dan fatsoen politik yang menitikberatkan upaya penerjemahan konstituensi politik kebangsaan. Dengan kerangka seperti ini proses pembudayaan demokrasi berada dalam bangun investasi politik dan cultural sebagaimana dikerangkakan oleh Ben Agger (1992) sebagai proyek “transforming intellectual life for a social, politic, and cultural investment.”
Dalam logika investment ini terlahir satu keniscayaan untuk memaknai kerja-kerja demokratisasi sebagai sebuah proses pembentukan kultur politik demokratis yang disertai upaya terus menerus untuk membenahi perangkat dan institusi demokrasi. Dengan pemaknaan seperti ini pula proses demokratisasi adalah upaya menyuntikkan ruh dan karakter demokratik ke dalam system dan mekanisme politik yang dimanifestasikan oleh institusi-institusi penyangga kebijakan publik. Sehingga lambat laun upaya pembenahan system berjalan seiring diterimanya perilaku demokratik secara imperatif sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehendak untuk memperbaiki kualitas kehidupan politik dan demokrasi.
Dalam kerangka investment itu pula kiranya kita menempatkan segenap upaya untuk memperbaiki kualitas kehidupan politik dan demokrasi di negeri kepulauan ini. Yakni upaya-upaya yang secara umum ditujukan untuk melakukan edukasi publik tentang arti dan makna demokrasi yang bersendikan pada terjaganya aspirasi dan kehendak masyarakat dalam berbagai kebijakan publik. Peran edukasi publik inilah yang kiranya ingin dihadirkan oleh Agger dalam proyek transformasi kehidupan intelektualnya. Di sinilah posisi dan peran strategis mahasiswa mendapatkan lahan yang subur untuk menyemaikan kultur demokratik bagi pembentukan fatsoen politik yang lebih menampilkan wajahnya yang humanistic, egalitarian, tolerans, dan juga bergerak di wilayah pemberdayaan masyarakat.
Gerakan Mahasiswa; contemporary case
Tapi bagaimana gerakan mahasiswa menempatkan diri dalam konstelasi politik nasional yang semrawut tersebut? Jika kita telaah lebih jauh dan coba membandingkannya dengan model gerakan mahasiswa di berbagai negara, maka akan nampak : pertama, gerakan mahasiswa Indonesia nampak belum mampu menginternalisasikan konstituensi politik masyarakatnya. Fenomena seperti ini nampak begitu telanjang di hadapan fakta kehendak masyarakat untuk menikmati satu kehidupan yang lebih menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Gerakan mahasiswa nampak sekali begitu gagap ketika harus menerjemahkan aspirasi dan kehendak masyarakat tersebut di tataran praksis pemihakan kepada rakyat.
Pada aras inilah kegamangan tersebut mewujud dalam sebentuk ketidakmenentuan arah dan orientasi gerakan. Sehingga gerakan mahasiswa lebih sering sporadic, dan kurang menjejaki spectrum kebutuhan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam posisi seperti itu gerakan mahasiswa, kedua, seringkali terjebak pada tarikan-tarikan politik yang lebih bersifat taktis dan jarang sekali strategis. Fakta seperti ini terjadi karena gerakan mahasiswa seringkali “a-histories” sebab diusung keluar dari wilayah-wilayah kebutuhan riil masyarakat. Dan tak heran jika gerakan mahasiswa saat ini seringkali kehilangan ruh untuk mendinamisir geraknya sendiri. Dinamika aksi-refleksi-aksi tidak lagi menjadi pijakan bagi pilihan-pilihan gerakan yang mampu mereproduksi wacana pemberdayaan di tingkat publik. Dan tak heran jika kemudian gerakan mahasiswa seringkali involutif dan kehilangan daya dobraknya.
Ketiga, belum adanya fundamental code of culture bagi penciptaan instrumen gerak yang efektif, yang dalam dirinya sendiri terdapat ketahanan, untuk dengan terus-menerus mendesakkan nilai-nilai yang lebih demokratik dan humanistic. Ekses yang terlahir dari fenomena seperti ini adalah terkurasnya energi gerakan mahasiswa karena harus melakukan racing dengan para politisi yang cenderung bertindak dan mengabdikan dirinya untuk semata-mata kepentingan pragmatis kelompok ataupun pribadinya.[23]
Jika hal ini terus terjadi maka gerakan mahasiswa, di satu sisi, akan kehabisan tenaga karena tidak memiliki basis legitimasi dari masyarakatnya, dan di sisi lain, akan sering terjebak pada jarring-jaring kepentingan pragmatic yang akan semakin menjauhkannya dari mandat sosial (social mandatory) masyarakatnya. Dan bisa ditebak jika kemudian gerakan mahasiswa semakin menjauh dari isu-isu yang tumbuh dan ada dalam masyarakat. Di wilayah inilah kemudian pertanyaan tentang apakah aksi-aksi mahasiswa pasca soeharto lebih menyematkan karakter gerakan moral ataukah gerakan politik patut untuk dikemukakan. Tapi bagaimana mengukur muatan-muatan, baik moral ataupun politik, dalam gerakan dan aksi-aksi mahasiswa tersebut ? Apa indicator yang paling mudah untuk mengukurnya ?
Jika penyematannya adalah penyematan politik maka ukuran paling mudah untuk mengukurnya adalah akselerasi gerakan dan aksi tersebut dengan agenda dan gerakan blok-blok politik yang sedang bermain. Pengukuran seperti ini tentu bersifat a-priori, namun setidaknya bisa memberikan arah bagaimana kita mengukur sebuah agregasi dan gerakan mahasiswa diakselerasikan di tataran praksis. Tapi bagaimana jika gerakan tersebut harus kita semati dengan gerakan moral ?
Ukuran untuk gerakan moral juga tak terlampau sulit, meski sekali lagi secara a-priori, yakni pemihakan gerakan mahasiswa terhadap agenda-agenda yang memiliki spectrum legitimasi dan mandat social secara luas. Dengan kata lain aksi mahasiswa akan lebih membawa muatan moralnya ketika berbanding lurus dengan kehendak dan aspirasi yang muncul di sebagian terbesar masyarakat. Di wialayah inilah gerakan mahasiswa melakukan gambling dengan pilihan-pilihannya dan mempertaruhkan independensinya di hadapan beraian kepentingan yang ada dalam konstelasi perpolitikan.
Sampai di sini, pertanyaan mendasar yang harus dikemukakan adalah sejauh mana pemihakan aksi dan gerakan mahasiswa tersebut tetap berada dan berhimpit secara erat dengan kebutuhan dan aspirasi warga masyarakat. Sehingga gerakan moral dalam logika seperti ini adalah bentuk gerakan mahasiswa yang sejauh mungkin diabdikan untuk menerjemahkan konstituensi politik masyarakat. Yakni keinginan untuk menikmati kehidupan yang lebih demokratik, egaliter, dan menghormati nilai-nilai yang humanistic. Dan itulah kiranya makna terdalam dari proyek demokratisasi yang sedang kita gelar bersama. Selain itu agenda yang juga menjadi PR bagi gerakan mahasiswa adalah untuk meneruskan jalan panjang upaya melembagakan resistensi masyarakat baik secara politik maupun secara ekonomis. Resistensi politik berkonotasi pada terciptanya satu kondisi dalam mana masyarakat tak lain individu-individu yang memiliki ruang untuk mengartikulasikan kehendak dan aspirasi politiknya.[24]
Sedangkan resistensi di bidang ekonomi lebih menitikberatkan satu situasi dalam mana masyarakat tidak larut tertarik dalam logika ekonomi pasar. Sebab jika ini terjadi maka akan sangat susah membayangkan posisi masyarakat agraris yang harus tergopoh-gopoh beradaptasi dengan corak masyarakat post-industri. Dan logika dasar yang melandasi proses dan mekanismenya adalah logika profit taking yang melulu bermuatan kepentingan untuk mengambil untung sebasar-besarnya.[25]
PMII, GM, dan Upaya Revitalisasi Demokrasi
Ada fenomena menarik yang ditunjukkan oleh Ignas Kleden menyangkut pemaknaan modernitas bagi masyarakat Indonesia. Menurutnya, modernitas dipahami sebagai estetika (lipstik, bungkus, polesan) dan bukannya etika (sikap hidup, etos kerja, muatan nilai).[26] Perspektif ini sengaja saya tempatkan untuk masuk lebih dalam ke persoalan relasi antara PMII, gerakan mahasiswa (GM), dan upaya revitalisasi demokrasi, yang saat ini tekesan mandeg.
Kemandegan yang ada saat ini secara a priori bisa kita tangkap dalam dictum-diktum “geser funding, geser issue,” ataupun “logika tak jalan tanpa logistik,” dan dictum-diktum prokem lain yang ringan namum mengekspresikan bentuk kegelisahan yang mendalam di tubuh GM. Kegelisahan ini muncul dalam ranah yang kompleks ketika GM mendapati dirinya sebagai ahli waris sejarah perjuangan demokrasi yang mendapat penisbatan ke para bapak pejuang demokrasi, namun dalam prkateknya kurang mendapat ruang yang cukup lebar untuk mengekspresikan gagasan dan idealismenya. Kondisi ini menggiring GM ke arah yang problematic ketika harus berbicara lebih jauh tentang konstruk state, society, public policy, ataupun demokrasi secara umum.
Posisi problematic ini menyambungkan kondisi fragmentatif di tubuh internal GM dengan kompleksitas persoalan yang sedang dihadapi oleh negara bangsa sebagai basis legitimasi eksistensi GM itu sendiri. Di tingkat internal GM menghadapi polaritas wilayah garap yang begitu luas. Ini mengakibatkan tidak dimilikinya kesatuan issu yang disepakati untuk menjadi area of concern bersama berbagai organ GM. Konsekuensi lanjutannya adalah polaritas gerakan yang kadang mengikutkan sentimen-sentimen ideology. Problem internal ini pada sisi lain juga diruyaki oleh problem eksternal berupa tumpukan persoalan yang menjadi PR bagi konsolidasi demokrasi di aras state, luluh lantaknya institusi dan kelembagaan tardisional yang menjadi common denominator gerakan social di aras society, hingga bergesernya pola konflik yang melibatkan di dalamnya otoritas-otoritas politik di tingkat pusat (negara), otoritas local (daerah) hingga interest yang menggumpal di wilayah horizontal masyarakat.
Jejaring persoalan ini seringkali menjadi persoalan karena GM, pada dirinya sendiri, tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk menganalisisnya dengan jernih. Keterbatasan perangkat analisis ini mempengaruhi determinasi pilihan issue, area of concern, dan spektrum persoalan yang diusung GM. Dan akibatnya, GM mengalami kesulitan untuk memperluas penerimaan publik (public consent) yang merupakan unsur pokok dari legitimasi eksistensinya. Ilustrasi ini tidak berpretensi untuk mengatakan bahwa GM telah kehabisan legitimasinya, hanya saja dalam perjalanannya problem internal yang tidak kunjung selesai ini pada gilirannya menghalangi GM untuk terlibat lebih jauh, dan matang tentunya, dalam kompleksitas persoalan yang ada. Dus, saat ini GM tidak sedang memperluas resonansi gerakannya di wilayah publik namun justeru sedang menggerus basis legitimasi yang menjadi reason d ’eter keberadaannya.
Namun begitu berbagai literartur mengenai transisi dari pemerintahan otoriter memang melihat porsi yang besar dimainkan oleh partai politik. Mereka mendapati bahwa partai memiliki signifikansi peran untuk mengkonsolidasikan gerak transisi.[27] Proposisi demikian bagi ‘O Donnell dan Schmitter dilahirkan oleh kenyataan bahwa partailah yang kemudian memiliki mandat membangun sistem kompetisi baru untuk jabatan-jabatan politis,[28] dan bukannya kelompok-kelompok seperti mahasiswa, LSM, ataupun intelektual yang dalam pengalaman di banyak negara dalam lintasan “gelombang demokrasi ketiga” Huntington memiliki andil yang sangat besar dalam proses penggulingan rezim otoritarian. Momen ini dalam skematika transisi Gramsci[29] masuk dalam momen politik (tahap kedua) yang secara umum mewakili satu kondisi dalam mana partai-partai kemudian mendapatkan pengesahannya untuk tampil sebagai pelaku utama kompromi-kompromi kepentingan yang melibatkan baik faksi moderat ataupun ekstrim dalam kelompok pro-perubahan, ataupun faksi pembaharu dala rezim tertentu.
Partai dan Konstitusionalisme
Dari uraian tersebut tergambar kepada kita peran sentral yang dimainkan oleh partai politik dalam melanjutkan proses transisi demokrasi. Dan dalam konteks seperti ini masyarakat tidak memiliki instrumen kontrol yang efektif untuk mengevaluasi berbagai pilihan dan langkah partai untuk melanjutkan proses transisi. Karenanya dalam konteks transisi politik dan demokratisasi, pelembagaan sistem kepartaian pada gilirannya menjadi salah satu alat ukur yang cukup prinsipil terhadap kualitas demokrasi di satu negara. Ia menjadi prinsipil bukan semata karena dirinya sendiri melainkan karena implikasi yang akan diakibatkan oleh pelembagaan sistem kepartaian yang tidak memadai.[30] Bagaimana mungkin misalnya, kita membayangkan pergesekan kepentingan antara partai yang tidak dibatasi oleh sistem kompetisi yang tak terlembagakan dengan baik bisa diharapkan untuk menjadi energi positif mendorong proses demokratisasi. Selain itu, pelembagaan sistem kepartaian juga akan berhubungan dengan kuat dan lemahnya satu pemerintahan. Di tingkat ini kita menemui fakta betapa sentralnya peran partai dalam proses konsolidasi demokrasi selanjutnya, dan karenanya dibutuhkan mekanisme pengaturan yang pada satu sisi memberikan instrumen kontrol publik terhadap partai-partai yang ada, dan di sisi yang lain menyediakan rule of the game bagi kompetisi kepentingan di tingkat partai.
Perlunya aturan main dalam pelembagaan sistem kepartaian ini menjadi gagasan kunci perkembangan modern dari paham demokrasi yang mengarahkan kita pada kebutuhan akan paham konstitusionalisme. Filosofi dasar konstitusionalisme secara mendasar adalah prinsip keutamaan hak rakyat. Filosofi itu secara padat digambarkan oleh Francois Hotman dengan “A people can exist without a king......whereas a king without people cannot even be imagined.” Bahwa rakyat dapat hidup tanpa raja, tapi sebaliknya raja tidak akan pernah ada tanpa rakyat.[31]
Dari rumusan dasar tersebut muncul pengertian bahwa konstitusionalisme berkait secara erat dengan perlindungan warga negara, yang juga berarti bukan aturan ketatanegaraan tapi prinsip final tentang hak warga negara. Karenanya doktrin awal konstitusionalisme secara eksplisit memberikan hak perlwanan senjata kepada penguasa otoriter. Baru kemudian konstitusi dipahami sebagai sarana mengatur kehidupan politik secara permanen. Dengan itu kita dibiasakan untuk menjalankan aktivitas politik dan kenegaraan secara prosedural, dan demokrasi dalam konteks ini kemudian harus dipahami sebagai mekanisme prosedural untuk menjamin adanya tertib politik dan kepastian hukum. Dan dari sinilah sebenaranya kredo universal tentang keniscayaan hubungan antara demokrasi, negara hukum dan konstitusionalisme muncul dalam setiap perbincangan demokrasi.
Jelaslah kiranya bahwa konstitusionalisme adalah rumusan historis untuk menyelamatkan hak dan kebebasan individu dari hambatan dan tekanan-tekanan kekuasaan. Rumusan historis karena ia hadir dari sebuah tuntutan historis tentang prasyarat kebebasan dan hak individu, dan bukannya dari pandangan transendental tentang kondisi ideal sebuah kehidupan politik ataupun sebuah tujuan hidup yang sudah final. Dan jika dikaitkan dengan pelembagaan sistem kepartaian, diperlukannya prosedur dan aturan main muncul dari keniscayaan untuk menjamin hak dan kebebasan warga negara.
Satu hal yang harus tetap dihindari dalam konteks berbagai prosedur tersebut adalah keterjebakan kita semata dalam prosedur sehingga mereduksi pemaknaan terhadap demokratisasi yang memang tidak semata soal prosedur. Patut dihindari karena akan menyebabkab kita mengembangkan demokrasi hanya di tingkatan prosedur dan bukannya substansi.
Modal Demokrasi
Modal sosial (social capital) sebenarnya adalah satu unsur dari pemahaman terbaru mengenai demokrasi. Ia merupakan sebuah konsep yang bertitik tekan pada hubungan antar individu dalam masyarakat (the structure of human relationship) yang didasarkan pada norma (norm), relasi social (social relation) dan trust yang membentuk jaringan (network) untuk terwujudnya aksi bersama (collective action). Modal sosial dengan demikian berkembang dari jaringan manusia yang saling bertemu dan berkomunikasi, yang denganya mereka membentuk dan mengubah hubungan-hubungan secara terus menerus.
Pembicaraan mengenai modal sosial dalam konteks transisi menuju demokrasi menjadi penting terutama untuk menginventarisisr kembali modal sosial yang akan sangat dibutuhkan dalam perjalanan transisi. Ini penting terutama mengingat begitu banyaknya konsekuensi negatif yang diwariskan oleh sistem masa lalu. Selain itu, alasan pentingnya pembicaraan tersebut muncul dari kenyataan pembangunan yang selama ini diterapkan lebih berorientasi pada pencapaian pertumbuhan di aras ekonomi dan sedikit sekali memperhatikan faktor-faktor manusia.
Sebelum jauh memasuki pembahasan ini perlu kiranya kita mengenali konsepsi-konsepsi awal tentang modal sosial. Michael W. Foley & Bob Edward[32] dalam artikelnya yang berjudul Is It Time to Disinvest in Social Capital? memberikan komentar kepada pembahasan tentang modal sosial yang dilakukan oleh tiga orang pengkaji awal tentang modal sosial, yaitu Pierre Bourdie, James Coleman dan Robert Putnam. Bourdie mendefinisikan modal sosial sebagai: “the aggregate of actual and potential resources which are linked to possession of a durable network of more or less institutionalized relationship of mutual acquaintance and recognition,” Dengan kata lain menjadi anggota sebuah kelompok yang memiliki kolektifitas dan modal kepercayaan berarti membuat mereka berhak atas kredit dalam (keuntungan). Lebih jauh, modal sosial menurutnya bisa dikategorikan ke dalam salah satu dari tiga bentuk capital (ekonomi, kultur dan sosial) yang secara bersama-sama menjelaskan struktur masyarakat yang dinamis dan berubah-ubah.
Sementara James Colemen mendefinisikannya sebagai,” a variety of entities having two characteristics in common. They all consist of some aspect of a social structure, and they facilitate certain actions of individuals who are within the structure…. Unlike other form of capital, social capital inheres in the structure of relation between person and among persons. It is lodged of social capital neither in individual nor in physical implements of production.” Adapun bentuk turunan dari modal sosial tersebut menurut Coleman terdiri dari; kewajiban dan harapan (obligation and expectation), sumber-sumber informasi (information potential), norma dan sanksi (norm and effective sanction), dan juga hubungan kekuasaan (power relation). Dalam tulisannya ini Coleman menjadi ilmuwan pertama yang berbicara tentang mekanisme penciptaan, pemeliharaan, dan penghancuran modal sosial.[33]
Lebih baru lagi dari keduanya, Robert Putnam mengkaji konsep modal sosial melalui dua karya pentingnya “Making Democracy Work” (1993) dan”Bowling Alone” (1995). Dia mendefinisikan modal sosial sebagai,” Feature of social life – network, norm and trust- that enable participants to act together more effectively to pursue shared objective”. Bagi Putnam kemampuan assosiasi untuk memproduksi: network, trust dan norm of reciprocity akan memungkinkan civic engagement. Menurutnya modal sosial tumbuh ketika para individu dalam masyarakat belajar mempercayai satu sama lain, membuat kesepakatan yang dapat diandalkan, dan terlibat dalam usaha bersama.
Dalam penelitiannya mengenai pemerintahan regional di Italia, ia mendapatkan kesimpulan bahwa lembaga-lembaga administratif serupa yang didirikan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya yang berbeda akan menghasilkan kinerja pemerintahan yang berbeda pula. Beberapa lembaga tersebut berjalan secara efektif, efisien, inovatif, dan dapat dipertanggungjawabkan, sementara yang lainnya tumbuh dengan lamban, inefisien, inefektif, dan korup. Dengan demikian sumbangan penting karya Putnam terletak pada ide bahwa modal sosial dapat berwujud positif ataupun negatif. Dalam bentuknya yang negatif ia memanifest melalui hubungan interpersonal yang eksklusif dengan praktek-praktek diskriminatif.
Deepa Narayan[34] mendefinisikan modal sosial sebagai norma dan relasi sosial yang melekat dalam struktur sosial masyarakat dan memungkinkan anggota-anggotanya untuk mengkoordinir aksi dan mencapai tujuan sebagaimana yang diinginkan secara bersama-sama. Sedangkan Antony J. Bebbington & Thomas F. Caroll[35] menggunakan tipe spesifik dalam struktur modal sosial yaitu organisasi lokal petani di Andean Highland yang dikategorikan dalam bentuk OSG.[36]
Modal sosial dengan demikian berkaitan dengan pranata, relationships, dan norma yang sangat determinan bagi pembentukan pola interaksi sosial kemasyarakatan. Karenanya ia bukan sekedar sejumlah pranata yang menjadi unsur pembentuk masyarakat, tapi merupakan landasan yang menjadi perekat dari itu semua. Sehingga secara sederhana ia bisa dimaknai sebagai a set of horizontal associations between people, consisting of social networks and associated norms that have an effect on community productivity and well-being.
Dalam konteks transisi identifikasi terhadap modal sosial mutlak dilakukan untuk mengetahui sejauh mana sebuah upaya transformasi politik, ekonomi, dan budaya mendapatkan dukungan solidaritas yang memadai. Ini penting karena satu agregat dengan cakupan masalah yang begitu luas meniscayakan dimilikinya kekuatan positif yang memungkinkan pelaksanaannya. Kerja keras dalam mengelola perubahan yang sedang berjalan dengan segala lapisan persoalan yang ada tetap harus dilakukan termasuk di dalamnya menilai kepentingan yang berbeda-beda, membangun konsensus, dan memobilisasi dukungan masyarakat dalam hal belajar dan beradaptasi dengan cara-cara baru dalam melakukan sesuatu.
Tindakan demikian membutuhkan perubahan nilai, keyakinan, dan perilaku. Sebab tanpanya modal sosial tidak akan berfungsi sebagai penggerak dan fasilitator perubahan. Transisi dengan demikian dikonstruksi oleh sebuah bangsa dengan berbagai institusi yang ada untuk menciptakan nilai-nilai baru untuk mengkerangkakan partisipasi politik yang dilandaskan kepada transparansi, akuntabilitas, dan inklusifitas. Ia juga diasumsikan terdapat pada kemampuan setiap kelompok masyarakat untuk mengelola beban historis serta perbedaan yang dimilikinya dengan kelompok lain sehingga dimungkinkan langkah penciptaan koalisi besar bagi kepentingan bersama.[37]
Konsekuensi yang muncul dari asumsi demikian adalah perluasan jaringan-jaringan kolaboratif dan konsultatif lintas kelompok yang dibutuhkan untuk memperoleh gambaran yang memadai menyangkut model penyelesaian konflik kepentingan dan penentuan agenda bersama. Ketika komitmen penciptaan tatanan baru ditetapkan maka hubungan-hubungan otoritas lama sepatutnya ditinggalkan dan hubungan-hubungan baru dengan nilai-nilai sebagaimana disepakati terus dikembangkan. Kondisi demikian diperlukan untuk mendorong terciptanya “sambung rasa” antara para elite dengan warga masyarakat. Sebab kepercayaan publik berkait erat dengan legitimasi dan otoritas para pemimpin yang mengkoordinasikan agregat pencarian definisi-definisi baru tatanan kehidupan kebangsaan.
Sayangnya, hampir seluruh persoalan mendasar yang saat ini dihadapi Indonesia dalam pengelolaan transisi berhubungan dengan luluh lantaknya nilai-nilai dalam masyarakat, rasa saling percaya, serta struktur kekuasaan yang tidak memiliki self-controlnya untuk memperbaiki citranya di depan publik.[38] Saat ini, sementara praktek-praktek lama telah tidak lagi populer dalam masyarakat, nilai-nilai baru belum lagi mapan. Sehingga tidak ada lagi perasaan identitas bersama sebagai bangsa secara keseluruhan. Beberapa pandangan bisa kita berikan dalam menganalisis gagalnya pembentukan sentimen kebangsaan ini.
Pertama, negara ini berdiri di atas fondasi kebangsaan yang begitu rapuh. Problem seperti ini bisa kita lacak dari aborsi Soeharto terhadap proyek “nation building” yang dikampanyekan Soekarno,[39] yang digantikannya dengan pembangunan ekonomi yang dimapankan melalui stabilitas politik dan keamanan. Naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan menandai bergesernya orientasi pembangunan nasional yang awalnya, pada masa Soekarno, ditujukan untuk mengukuhkan karakter dan identitas kebangsaan Indonesia, menjadi seperangkat instrumen pertumbuhan ekonomi yang mengesampingkan pemeliharaan kultur penyangga kohesi sosial. Dalam gagalnya proyeksi pembentukan karakter kebangsaan tersebut kita menemukan fakta bahwa bangsa-bangsa yang terintegrasi ke dalam NKRI belum pernah mengalami fase kebersamaan “menjadi Indonesia.” Yakni satu momentum yang menandai dimulainya kontrak sosial antar bangsa-bangsa yang ada untuk bergabung menjadi bagian dari Indonesia.[40]
Ada jarak geografis dan geo-kultur yang diabaiakan eksistensinya dalam mengkerangkakan bangunan integrasi kebangsaan. Sehingga lapis-lapis perbedaan dan keragaman yang ada tidak pernah dikenali dengan baik. Sebagai contoh dapat disebutkan adalah adopsi nalar kontinental dalam membaca realitas Indonesia yang kepulauan. Seolah-olah Indonesia itu adalah tunggal tanpa ada selat-selat yang memisahkan berbagai entitas yang berkembang di Indonesia. Modernisasi yang terjadi di Indonesia mengakibatkan penyeragaman cara berfikir yang positifistik. Pemerintah melihat bahwa budaya Jawa sama dengan budaya Aceh, misalnya, sehingga kebijakan yang diambil tidak ada bedanya antara satu daerah dengan daerah lain. Adopsi cara pikir positivis yang sebenarnya juga Eurosentris ini tidak mempertimbangkan relevansinya dengan ruang-batin masyarakat Indonesia.
Kedua, aborsi yang disertai penyeragaman oleh Soeharto mengikis berbagai identitas lokal dalam restriksi dan koersi yang hebat sehingga pelembagaan nilai-nilai keindonesiaan juga tidak dimungkinkan karenanya. Dan sebagai implikasinya, ketiga, tidak dimilikinya fundamental code of culture yang menjadi afinitas kolektif masyarakat yang bernama Indonesia. Dalam kondisi demikian tidak bisa kiranya kita membumbui kenekatan para TKI yang telah dideportasi dari Malaysia dengan nasionalisme. Karena memang ia belum pernah terbentuk dengan memadai. Sebab jika kita bertanya kepada mereka; jika mereka dapat meningkatkan taraf ekonomi mereka di Malaysia, maukah mereka meninggalkan kewarganegaraannya, dan berpindah menjadi warga Malaysia ?? sebuah pertanyaan yang tentu bisa “ya,” dan bisa “tidak.”
Kondisi demikian tentu akan menyulitkan kita untuk menginventarisir modal yang kita butuhkan untuk meneruskan proses konsolidasi demokrasi. Komunikasi antara para elite dan masyarakat yang hanya terjadi saat pemilu menjadi kontributor utama bagi rumitnya persoalan ini. Sebab tanpa mekanisme yang begitu jelas menyangkut akuntabilitas politik perwakilan tentu akan sulit menerka masih adakah kepercayaan publik kepada para elite politik yang mewakilinya.
Menerka Masa Depan; Jalan Tanpa Ujung (?)
Meski masih sulit mengira-ngira bayangan masa depan transisi demokrasi di Indonesia, tapi dari proses yang ada kita bisa mengukur panjang jalan yang akan kita lalui untuk melanjutkan konsolidasi demokrasi tersebut. Transisi memulai konsolidasi demokrasi ketika penyelengaraan Pemilihan Umum (pemilu) pertama setelah jatuhnya Rezim otoriter terdahulu secara bebas dan adil dapat dilakukan. Pemilu 1999 yang oleh banyak pengamat disebut sebagai pemilu paling demokratis setelah pemilu 1955 memang memberikan sedikit kepercayaan untuk melangkah maju. Ukuran bagi keberhasilan ini minimal bisa kita tengarai dari terbentuknya sebuah pemerintahan baru dengan legitimasi lebih kuat. Hanya saja benarkah penguasa baru hasil pemilu yang ada berhasil mengkonsolidasikan kehidupan demokrasi dan menjadikannya sebagai the only game in town.
Para pemimpin baru harus terus menerus melakukan negosiasi agar terjadi wacana demokrasi dalam masyarakat. Konsolidasi harus tetap dilakukan karena apa yang telah dicapai itu baru langkah awal bagi suatu proses konsolidasi pasca otoritarianisme. Tantangan serius yang seringkali menggelincirkan pemerintahan demokrasi menurut Huntington banyak berasal dari persoalan-persolana kontekstual seperti terpuruknya perekonomian, konflik etnis, ketimpangan ekonomi-sosial yang menyolok, ataupun hutang luar negeri yang semakin menumpuk. Kegagalan pemerintah baru untuk mengatasi persoalan-persoalan ini akan juga menandai tamatnya demokrasi.
Menghindari kondisi demikian beberapa faktor kiranya perlu diperhatikan bagi keberhasilan konsolidasi demokratis; Pertama, arah pembangunan ekonomi yang mampu mengatasi persoalan-persoalan mendasar di bidang ekonomi. Strategi dan arah pembangunan ini terutama sekali dikerangkakan sebagai landasan kepada kebijakan makro ekonomi. Kebijakan ini secara umum diorientasikan untuk menata iklim kompetisi dan daya saing negara sehingga ekonominya berjalan secara efisien. Selain itu di level mikro pemerintah juga perlu mengambil langkah-langkah yang proaktif. Karena di tingkat inilah sebenarnya kebijakan di wilayah makro mendapatkan medium implementasinya. Di antara kebijakan yang harus menjadi prioritas adalah; reformasi sektor pertanian, pemenuhan kesehatan dasar, stabilisasi harga. Selain itu juga diperlukan perubahan organisasi (organizational change). Kebijakan ini diorientasikan untuk membangun sistem kelembagaan yang diharapkan akan berjalan secara efisien sehingga dapat menopang kinerja bidang ekonomi. Penataan bidang ekonomi yang mampu beradaptasi dengan kompleksitas permasalahan menjadi taruhan keberhasilan di bidang ekonomi.
Kedua, transparansi kebijakan dan pengelolaan anggaran negara dan diakui sepenuhnya partisipasi politik warga. Dalam konteks ini para pemimpin baru dituntut untuk memberikan contoh penyelenggaraan pemerintahan yang transparan kepada masyarakat. Dengan menetapkan aturan hukum yang menjamin hak-hak publik untuk melakukan pengawasan kepada pemerintah. Ketiga, penyelesaian secara tuntas terhadap berbagai kasus yang berkaitan dengan korupsi ekonomi, manipulasi politik dan keadilan hukum. Kegagalan di wilayah ini akan mengakibatkan rendahnya tingkat kepercayaan warga masyarakat kepada pemerintah dan menimbulkan sisi negatif bagi konsolidasi transisi demokrasi.
Dari ketiga faktor tersebut grafik pencapaian transisi dan konsolidasi demokrasi Indonesia nampak belum memperlihatkan peningkatan yang begitu memadai. Di bidang ekonomi misalnya pemerintah terlihat belum sama sekali menemukan arah dan strategi yang tepat untuk mengatasi problem-problem yang ada. Di bidang hukum bahkan nampak semakin memprihatinkan, jika tidak memalukan. Ini tercermin setidaknya dalam lemahnya kinerja peradilan di Indonesia untuk menuntaskan kasus-kasus di bidang hukum. Dibuatnya keputusan-keputusan yang tidak populer di bidang hukum semakin menyiratkan pesimisme kita terhadap keseriusan pemerintah melakukan pembenahan terhadap sistem hukum dan peradilan. Sementara di bidang politik, proses pelembagaan sistem kepartaian belum sama sekali memperlihatkan hasil yang mamadi untuk dijadikan landasan penyaluran hak-hak masyarakat. Secara umum kehidupan politik di negeri ini masih sangat elitis dan lebih menyerupai “kartel elite” yang berkorporasi untuk membohongi masyarakat. Kasus gagalnya pembentukan Pansus Bulog setidaknya bisa kita jadikan salah satu indikator awal dari kondisi ini.
Dalam kondisi demikian, benar kiranya sinyaleman yang mengatakan bahwa gagalnya gerakan pro-demokrasi di Indonesia terletak pada kegagalan untuk mendesakkan satu managemen kekuasaan yang lebih berpihak kepada masyarakat. Kegagalan ini dibuktikan oleh selalu dominannya kekuatan-kekuatan otoriter dalam struktur kunci negara. Dan ini tentu menyiratkan masih banyaknya tugas yang harus kita kerjakan untuk mengawal proses transisi dan konsolidasi di negari ini. Satu proses yang tentu sangat melelahkan dan bagai jalan tanpa ujung.
Kontroversi yang mengitari amandemen UUD 1945 sepertinya mewakili simpul bagi seluruh permasalahan yang kita hadapi sebagai bangsa. Kemelut tersebut secara keseluruhan sepertinya cukup mewakili kondisi faktual proses demokratisasi kita yang berdimensi chaotic, dan menjadi persilangan kepentingan segenap pihak dalam masyarakat; partai, interest groups, dan juga kelompok penekan lainnya. Tak heran jika kemudian proses politik yang seharusnya menjadi media pembelajaran demokrasi pada kelanjutannya telah menjadi medan pertaruhan politik (political expediency) antarkepentingan dan eksotisme (baca : kegenitan) para elite yang semakin menjauh dari upaya penerjemahan konstituensi politik di tingkat akar rumput.
Menguatnya arus seperti ini pada sisi tertentu telah ikut menggerus ruang-ruang kecerdasan yang diharapkan mampu memperluas spektrum pemaknaan demokrasi Indonesia yang sedang mencari jati diri. Karena pada kenyataanya transisi demokrasi semata dimaknai sebagai wahana bongkar pasang struktur kepemimpinan, adu otot antar-faksi, tanpa disertai proses pembudayaan politik, yakni menjadikan politik sebagai milik masyarakat dan bukan semata milik para elite. Di aras inilah kesemestaan proses politik di aras negara terlihat gagal menjadi instrumen bagi edukasi politik dan penerjemahan konstituensi publik.
Kondisi demikian jika kita cermati memang memiliki zona-hubung dengan tingkat pemahaman politik masyarakat yang belum memadai, akibat sekian lama tidak dilibatkan dalam proses-proses politik. Sehingga bisa dimengerti jika kualitas kultur penghayatan demokrasi di negeri ini belumlah memadai untuk menopang berdirinya negara kesatuan yang demokratik. Hal ini terjadi karena demokrasi seringkali menjadi antiklimaks dalam slogan, himbauan, ataupun kampanye, bukannya kultur yang mendiami penghayatan politik seluruh masyarakat.
Layaknya teks yang terbuka, demokrasi dan politik memang selalu menyediakan diri untuk dimaknai. Hanya saja kreasi pemaknaan tersebut menjadi problem ketika fundamental code of culture bagi demokrasi masyarakat Indonesia belum sama sekali dikerangkakan. Dan masyarakat manapun kemudian memiliki hak yang begitu luas untuk melakukan improvisasi politik atas nama demokrasi tanpa batasan-batasan yang jelas. Sehingga demokrasi kemudian dimaknai sebagai momentum untuk memanifestasikan artikulasi politik tanpa harus menyesuaikannya dengan rambu-rambu dan rule of the game tertentu. Jadilah demokrasi menjadi ajang kreasi dan improvisasi politik yang quasi-anarchistic.
Hal lain yang juga memprihatinkan adalah tidak adanya kesepakatan menyangkut tolakan bagi proses demokratisasi, dan karenanya berputar-putar tanpa arah. Kondisi ini tentu menyulitkan upaya untuk mendiagnosa kesalahan yang mungkin saja ada dalam setiap tahapan uji-coba demokrasi yang kita lalui. Dan itu juga berarti menyulitkan usaha memformulasikan format demokrasi dan sistem ketatanegaraan di masa mendatang yang mampu, di satu sisi, berdiri di atas konjungtur lokalitas budaya masyarakat Indonesia yang majemuk dan berspektrum sangat luas. Dan, di sisi yang lain, tidak ketinggalan dalam merespons dinamika global yang memang tak mungkin untuk ditolak.
Mensintesakan kedua hal yang pada beberapa segi kadang bertolak belakang ini memang bukan pekerjaan yang bisa selesai satu generasi. Karena ia adalah kerja sejarah yang tak kenal lelah. Pensintesaan berbagai aspek dalam masyarakat dan kulturnya memang selalu memakan waktu yang panjang dalam pengalaman berbagai negara. Sehingga tak mungkin kita membayangkannya akan segera selesai. Negara-negara “kampiun demokrasi” seperti Amerika, Perancis, Jerman dan lainnya memerlukan waktu yang panjang untuk mencari bentuk demokrasinya yang sekarang.
Keseimbangan perhatian terhadap kedua variable di atas memang senantiasa berat untuk diupayakan. Pada masa Soeharto misalnya, pemerintah ketika itu memiliki apresiasi tinggi terhadap nilai-nilai lokal, namun sayangnya hal itu hanya berhenti di tataran retorika dan simbolisme politik. Sementara pada sisi yang lain, sangat lamban untuk menggauli isu-isu global yang lebih berdimensi populis. Tak pelak penanganan dua sisi yang canggung tersebut mementahkan upaya menjadikan politik sebagai milik komunitas-komunitas warga dengan local geniusnya. Dan bersamaan dengan itu wacana dan kecenderungan baru yang muncul di aras global mendapat restriksi yang hebat di tingkat negara.
Pada tataran inilah kemudian transisi demokrasi seyogyanya tidak dikorbankan untuk mengumbar ambisi politik pribadi ataupun golongan tertentu. Sebaliknya, menjadikannya sebagai momentum bagi semua warga bangsa untuk mengkaji ulang konstruk budaya politik demokrasi. Transisi demokrasi sebagai ruang untuk belajar dari kegagalan percobaan demokrasi baik masa demokrasi liberal, terpimpin, ataupun masa Orba dengan demokrasi Pancasilanya.
Pilihan ini memiliki derajat keniscayaan yang tinggi untuk menyelamatkan kehidupan politik kebangsaan dan mencegahnya dari sekedar menjadi medan konflik kepentingan baik individu ataupun kelompok. Bahwa kemudian nampak berbagai ornamen ketidakpastian, displacement, dan bahkan disorientasi di sana-sini haruslah tetap ditempatkan dalam kerangka memediasi pemaknaan demokrasi itu sendiri. Meskipun pada tahap tertentu, transisi demokrasi juga dituntut untuk segera mendefinisikan arah dan tujuannya untuk meminimalisasi kadar social disorder yang kini menggejala dengan hebat. Tidak itu saja, koridor sempit demokrasi tersebut juga harus dipugar untuk menghindari titik balik kebosanan masyarakat kita terhadap ketidakmenentuan demokrasi yang bisa saja akan segera diiringi oleh menguatnya arus kerinduan kepada otoritarianisme politik yang lebih menjanjikan kepastian dalam berbagai hal.
Pertanyaannya kemudian, mampukah konfiguasi politik, sosial, dan kultural kita menyediakan lahan yang subur bagi tumbuhnya semaian demokrasi dan penghormatan hak-hak komunitas warga-bangsa ? Jawaban dari pertanyaan itulah yang kiranya sedang kita cari dalam perjalanan yang hampir tanpa ujung ini. Wallahu Waaliyu at-Taufiq.
[1] Kalimat ini menjadi penutup ringkasan diskusi yang dibuat oleh Dr. Rainer Adam, melibatkan 6 partai besar Indonesia, di selenggarakan di Jakarta pada tanggal 12 hingga 15 Mei 2000. Lebih jauh lihat dalam Democratic Transitions in Asia, Uwe Johannen & James Gomez, et.all. Singapore : Select Publishing Pte Ltd dan Friederich Naumann Foundation, hal. 276. Menurut Adam secara umum masing-masing peserta diskusi mengalami kebingungan dalam mendiagnosa persoalan yang melingkupi proses transisi demokrasi di Indonesia. Kesulitan ini juga mengakibatkan tidak dicapainya kesepakatan mengenai agenda jangka panjang yang mungkin dilakukan (dan atau dikerjasamakan) oleh masing-masing partai mereka. Adam justeru melihat bahwa masing-masing partai menyibukkan diri pada kontestasi dan perebutan kepentingan mereka semata tanpa membekali diri dengan kapasitas konseptual dan pengalaman yang memadai untuk mengkerangkakan pencarian “alternatif” jalan keluar dari berbagai kemelut yang saat ini ada.
[2] Kesulitan serupa juga diakui oleh Ulf Sundhaussen. Menurutnya perjalanan politik Indonesia senantiasa diwarnai oleh moment-moment yang mengejutkan dan dalam beberapa segi keluar dari kelaziman pola-pola yang berlangsung di banyak negara. Lebih jauh lihat dalam Ulf Sundhaussen, “Sebuah Agenda bagi Demokratisasi di Indonesia”, Majalah Prisma No. 3 Tahun XXV Maret 1996, Jakarta : LP3ES, hal. 3-21.
[3] George Sorensen menyebut kondisi demikian sebagai the frozen democracy (demokrasi beku). Sebuah kondisi dalam mana pertumbuhan demokrasi menjadi layu akibat munculnya berbagai kendala sosial ataupun politik yang mengakibatkan berbagai jalan rintisan tidak lagi efektif untuk menggerakkan pembentukan demokrasi tingat lanjut. Kondisi demikian oleh Geertz disebut sebagai involusi demokrasi. Lebih jauh lihat dalam Heru Nugroho, pengantar dalam John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia, Yogjakarta : Pustaka Pelajar & CCSS, Cet. I, 2002, hal. Xviii – xix.
[4] Penuturan lugas Vaclac Havel, misalnya, tentang lelahnya menata demokrasi di negerinya menjadi “sedikit hiburan” bagi kita bahwa proses melingkar dan melelahkan tersebut bukan saja pengalaman Indonesia dalam mengelola transisi menuju demokrasi.
[5] Guillermo ‘O Donell, Transisi Menuju Demokrasi, Jakarta : LP3ES, Buku I – IV.
[6] Hasil serangkaian pengkajian dan penelitian tersebut kemudian menjadi karya pertama, dalam bahasa manapun, yang menyajikan data komprehensif tentang bentuk dan proses transisi di negara-negara berkembang. Buku tersebut mengambil kasus Amerika Latin dan Eropa Selatan sebagai model kajiannya. Karya lain yang juga penting adalah buku Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, yang mengkonsentrasikan pembahasannya pada pengalaman demokrtisasi di banyak negara “gelombang ketiga’ demokrasi.
[7] Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi : Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Jakarta : LP3ES, Cet. I, 1993, hal. 2 - 3
[8] Refleksi atas kontestasi sengit dan kesulitan mencari kesepakatan terhadap aturan dan asumsi-asumsi dasar penyelenggaraan kehidupan bernegara terekam dalam laporan Dr. Reiner Adam. Lebih jauh lihat dalam Uwe Johannen, et. All, Democratic Transitions in Asia, Loc. Cit, hal. 267-271.
[9] Lihat penjelasan Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, Cet. II, 1997, terutama bagian III.
[10] Perubahan tersebut dilakukan melalui beberapa paket deregulasi ekonomi yang memberikan celah lebih lebar kepada swasta untuk berperan dalam kegiatan perekonomian. Paket deregulasi tersebut dimulai dengan deregulasi sistem perbankan tahun 1983 yang kemudian didukung banyak paket lainnya; seperti paket deregulasi Oktober 1988 tentang liberalisasi keuangan, paket Nopember 1988 tentang perdagangan barang plastik, angkutan laut, industri dan pertanian, serta paket desember tentang pasar modal dan modal ventura, yang kemudian lebih populer dengan Pakto, Pakno, Pakdes. Uraian panjang lebar tentang hal itu lihat dalam Andrinof A. Chaniago, Gagalnya Pembangunan, Jakarta : LP3ES, Cet. I, 2001, terutama bagian I dan II.
[11] John Williamson menamakan pilihan ini sebagai “Washington Consensus” mengingat paket ini berasal dari IMF yang bermarkas di Washington DC. Dikutip oleh Priyambudi Sulistiyanto dari John Williamson (ed.), The Political Economy of Policy Reform, Washington DC : Institute for International Economics, 1994, hal. 26 – 28. Lebih jauh lihat dalam Priyambudi Sulistiyanto, “Politik, Reformasi Ekonomi, dan Demokratisasi,” dalam Prisma, Jakarta : LP3ES, No. 5 – 1997, hal. 4 – 7. Di Indonesia, kebijakan ini mewujud dalam paket deregulasi ekonomi yang secara umum ditujukan untuk mengubah arah perekonomian yang lebih berorientasi ekspor dan mendongkrak performace ekonomi Indonesia yang lebih kompetitif di mata internasional. Tinjauan lainnya juga dilakukan oleh Mochtar Mas’oed dalam “Resep Itu Bernama “Washington Consensus,” pengantar dalam buku Andrinof, Ibid. Menurutnya, paket-paket deregulasi tersebut menandai momentum semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia ke dalam sistem perdagangan, finansial, dan investasi global.
[12] ‘O Donnell dan Schmitter menggarisbawahi bahwa umumnya tujuan utama dari pengenduran kediktatoran melalui beberapa liberalisasi tersebut memang untuk mengupayakan kontrol kembali terhadap berbagai aksi penentangan terhadap rezim serta untuk membentuk saluran-saluran yang aman mengartikulasikan kepentingan mereka. Lebih jauh Lihat dalam Transisi Menuju Demokrasi : Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Jakarta : LP3ES, Cet. I, 1993, hal. 63.
[13] Donald Share dan Scott Mainwaring, “Transitions Through Transaction : Democratization in Brazil and Spain,” dalam Political Liberalization in Brazil : Dynamics, Dilemmas, and Future Prospects, ed. Wayne A. Selcher, Boulder, Colo : Westview Press. 1986, hal. 177 – 179.
[14] Huntington, Op. Cit., hal. 157 – 158.
[15] Keraguan semacam ini diungkapkan secara eksplisit oleh Sundhaussen menyangkut ketersediaan aktifis revolusioner di negeri ini. Ia memang tidak menafikan adanya kelompok-kelompok yang sangat tidak puas (dan atau dirugikan oleh kebijakan Orde Baru), namun secara bersamaan ia mengaitkannya dengan potensi penghambat persebaran gagasan tersebut bila dikaitkan dengan kondisi umum masyarakat yang masih tradisional, terlebih jika harus membicarakan trauma yang diwariskan percobaan kudeta berdarah 1965. Lebih jauh lihat Sundhaussen dalam Loc. Cit., hal. 5. Dalam kondisi demikian memang kita tidak bisa mengharapkan terjadinya persebaran political leverage yang lebih lebar dalam waktu yang cepat dan konstan.
[16] Elaborasi mengenai situasi-situasi revolusioner lihat dalam S. N. Eisenstadt, Revolusi dan Transformasi Masyarakat, Jakarta : CV. Rajawali, Cet. I, 1986, hal. 3 – 4.
[17] Respons terhadap pilihan reformasi dan bukan revolusi muncul dalam ekspresi ketidakpuasan beberapa kelompok di kalangan mahasiswa, partai, ataupun perorangan yang begitu pesimistik menggantungkan nasib transisi demokratis kepada perubahan secara gradual. Bukan saja karena evolusi semacam itu melelahkan namun juga karena dia tidak sama sekali mampu memberikan jaminan dan signal positif atas keberhasilannya. Melainkan juga karena di dalamnya terkandung potensi yang cukup besar untuk terjadinya blunder yang memungkinkan tampilnya kelompok status quo sebagai pemenang, dengan atau tanpa membonceng militer di belakangnya.
[18] Asingnya kepolitikan Indonesia dengan oposisi ini setidaknya terjadi hingga paruh kedua 80-an, dalam mana tidak satu golonganpun dalam masyarakat yang memerankan fungsi tersebut. Suara-suara kritis terhadap berbagai kebijakan mulai muncul pada akhir dekade tersebut, dan justeru anehnya tidak berasal dari kelompok-kelompok di luar pemerintahan.
[19] Faisal Basri, “Kerancuan Koalisi Permanen,” Berpolitik.com, 13 Maret 2001.
[20] Potensi seperti ini layak untuk diperhatikan lebih karena hampir keseluruhan partai kontestan pemilu 1999, yang lama ataupun baru, mendefinisikan konstruksi solidaritas politiknya di bawah kharisma pemimpinnya. Dan 6 partai pemenang pemilu 1999 menunjukkan kenyataan itu. Barangkali Golkar memiliki beberapa hal untuk dikecualikan dalam kasus ini, berkah dimilikinnya infrastruktur warisan yang sangat mapan memang sedikit membedakannya dari partai-partai lain. Namun dalam faktanya, di beberapa daerah, Golkar pun tidak bisa meninggalkan kehadiran pemimpin kharismatik untuk mendulang suara dan melengkapi “kebulatan tekad” yang dulu diterimanya dari simpul-simpul kekaryaan di lingkungan pegawai negeri sipil dan atau tentara.
[21] Sebuah survey singkat diselenggarakan ISIS mengiringi program Islam dan Oposisi Demokratis beberapa waktu lalu di daerah Banten dan Kalimantan Selatan. Survey ini memfokuskan perhatian pada korelasi antara pilihan artikulasi politik kelompok-kelompok Islam dengan harapan dan kebutuhan masyarakat. Hasil survey menunjukkan bahwa secara umum partai-partai tidak memiliki keprihatinan yang memadai dalam menangani persoalan-persoalan dalam masyarakat. Hampir mayoritas responden dalam survey tersebut (80%) belum pernah memiliki pengalaman keterlibatan dalam program partai yang memang diabdikan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat.
[22] Pengalaman menarik terjadi di semenanjung Balkans mengiringi upaya penataan Yugoslavia yang dilakukan oleh Joseph Broz Tito mengintroduksikan satu model kebangsaan yang multiracial, etnik, dan agama era 60an dan 70an. Tito memang berhasil merintis jalan bagi terbentuknya model pemerintahan yang melandaskan diri pada fakta keragaman masyarakatnya. Sayangnya, keberhasilan tersebut lebih bersifat personal dan kharismatik tanpa diiringi pembentukan sistem yang memadai bagi regulasi social kemasyarakatan.
[23] Ketiga kondisi tersebut pada tahap tertentu mengakibatkan akselerasi gerak GM nampak antisejarah dan antikonsep. Anti sejarah karena ontology agregasi GM dikerangkakan bukan pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang merupakan ibu kandungnya, melainkan dari berbagai kaca mata yang justeru tidak menyediakan optik yang memadai untuk menjejaki kesemestaan persoalan yang ada. Dan selanjutnya antikonsep karena dalam perkembangannya, GM gagal memformulasikan satu bentuk gerakan pemberdayaan yang padu.
[24] Proposisi ini lahir dari telaah terhadap konstruk demokrasi kita yang lebih memanifest sebagai pelembagaan hak-hak istimewa beberapa kelompok terbatas, daripada sebagai manifestasi upaya penerjemahan konstituensi politik masyarakat. Konstruk demokrasi ini, menurut Carrol H. Weiss gagal menyediakan kerangka normative kebebasan yang menjadi ruh dasar demokrasi itu sendiri, yakni demokrasi sebagai penyedia berbagai pilihan. Lebih jauh lihat Demokrasi Ditinjau Kembali,
[25] Ketimpangan kondisi social politik yang ada sedikit banyak dipengaruhi oleh gagalnya para teoritisi social untuk mendefinisikan ontology social politik-demokrasi kita. Sehingga jenis politik dan demokrasi macam apa yang ingin dikembangkan di Indonesia seakan tidak pernah terkonstruk secara jelas. Dari sini persoalan melebar ke wilayah epistemology yang, sekali lagi, para teorisi social juga gagal mengkerangkakan konstruk epistemology politik demokrasi kita. Kegagalan di aras konseptual ini memicu kebingungan di aras pencarian instrumen gerak yang lebih operatif bagi implementasi teoritis yang ada.
[26] Ignas Kleden, Membangun Tradisi Tanpa Sikap tradisional, dalam Sikap Ilmiah dan Kritik Keebudayaan, Penerbit LP3ES, hal. 214-247. Corak pemaknaan demokrasi sebatas sebagai estetikan ini mirip dengan kecenderungan umum GM yang terjebak pada trend. Akhirnya kritisisme dipahami sebagai trend dan bukan sikap dan pandangan hidup. Seorang mahasiswa disebut kritis ketika ia memakai kaos bergambar kaos Che Guevara, dan seterusnya.
[27] Kajian seperti ini bisa ditemukan misalnya dalam Juan J. Linz dan Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation : Southern Europe, and Post-Communist Europe, Baltimore : John Hopkins University Press, 1996. Juga lihat dalam Guillermo ‘O Donnell dan Philipe C. Schmitter, Loc. Cit. Studi awal untuk peran partai dalam proses transisi di Indonesia saya temukan dalam Paige Johnson, “Partai Politik dan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia,” dalam Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta : Yayasan API, Cet. I, hal. 117 – 146. Untuk kasus Indonesia Paige Johnson menjadikan tema ini sebagai fokus kajian dalam disertasinya, “The When of Institutionalization : Political Parties and Indonesia’s Transition.”
[28] ‘O Donnel dan Schmitter dalam Loc. Cit, hal. 64 – 65. Keduanya memang mengakui bahwa dalam pengalaman beberapa negara seringkali partai politik bukanlah aktor utama dan penting dalam proses penggulingan rezim otoriter. Sebaliknya, dalam kebanyakan kasus, peran ini dimainkan oleh kelompok-kelompok penganjur HAM dan aliansi-aliansi sektoral lainnya.
[29] Gramsci, sebagaimana dikutip ‘O Donnell, dkk., mengkerangkakan transisi demokrasi ke dalam tiga momentum utama; militer, (partai) politik, dan ekonomi. Momen pertama terjadi ketika pihak-pihak dalam militer mentolerir beberapa bentuk liberalisasi yang tidak begitu merubah konstruk politik secara radikal. Sementara momen politik lebih menunjukkan fase dalam mana partai-partai mulai mengambil peran yang cukup signifikan ketika militer telah mulai mundur dan dan dibutuhkan satu konvensi baru bagi pembentukan pemerintahan yang akan meneruskan transisi. Sementara momen ekonomi lebih berhubungan dengan upaya pembenahan yang harus segera dilakukan setelah konvensi-konvensi politik bagi pemerintahan baru dikerangkakan. Kondisi demikian mutlak dilakukan karena rezim otoriter biasanya mewariskan keterpurukan ekonomi yang sangat. Lebih jauh lihat dalam Loc. Cit., hal. 62 – 75.
[30] Lihat dalam Paige Johnson dalam Op. Cit., hal. 119 – 121.
[31] Dikutip dari Rocky Gerung, “Etika dan Tugas Politik Oposisi,” dalam Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta : Yayasan API, Cet. I, 2001, hal. 18 – 21.
[32] Journal of Public Policy, Forth coming 1999
[33] James Coleman, The Foundation of Social Theory, Cambridge : Harvard University Press, 1990, terutama bab 12 yang mengkhususkan pembahasan tentang “Social Capital,” hal. 300 – 321.
[34] Deepa Narayan, “Bond And Bridge: Social Capital & Poverty,” sebuah paper yang disiapkan untuk workshop penelitian yang diselenggarakan oleh World Bank, June 1998, hal. 6
[35] Antony J. Bebbington & Thomas F. Caroll, Induced Social Capital Formation In The Andes: Indegounus Federation And Development A Preliminary draft, prepared for the Social Capital & Poverty Converence held at World Bank, June 22-24, 1999
[36] OSG merupakan akronim Spanyol, Organisacion de Segundo Grado yang berarti organisasi yang memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (self governing organization).
[37] Tay Keong Tan, “Modal Sosial dan Lembaga-lembaga Legislatif di Indonesia,” dalam Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta : Yayasan API, Cet. I, 2001, hal. 66 - 67
[38] Penjelasan apa, misalnya, yang akan memuaskan masyarakat saat mereka bertanya mengapa seorang yang diduga menyelewengkan milyaran uang negara dan telah divonis pengadilan tetap memiliki hak-haknya sebagaimana semula. Sementara seorang yang menggunakan “sandal bolong” untuk sholat dicabut hak-haknya padahal pengadilan belum sama sekali memberikan putusan atasnya. Adakah perbedaan ini muncul akibat perbedaan posisi dan status kedua subyek berperkara yang begitu kontras, yang pertama Ketua DPR dan yang kedua Buruh Pabrik Sepatu ?
[39] Nation building merupakan sebuah peristilahan yang dipopulerkan Soekarno untuk melukiskan perlunya fase integrasi nasional dalam pembentukan negara kesatuan yang begitu majemuk. Fase ini diperlukan lebih untuk menegosiasikan antar-kepentingan yang ada di dalam struktur dalam negara-bangsa itu sendiri. Argumen yang melandasai pilihan soekarno ini, menurut Ignas Kleden, adalah pokok soal yang dihadapi oleh Soekarno adalah menjaga agar berbagai-bagai kelompok etnis, golongan agama, dan perhimpunan politik tetap dalam satu kerangka negara kesatuan. Lebih jelas lihat dalam Ignas Kleden, “Ilmu Sosial di Indonesia; Tindakan dan Refleksi dalam Perspektif Asia Tenggara” dalam Ilmu Sosial di Asia Tenggara; dari Partikularisme ke Universalisme, Nico Schulte Nordholt dan Leontine Visser, et. Al., Jakarta : LP3ES, Cet. I, 1997, hal. 11.
[40] Momentum pengintegrasian melalui Sumpah Pemuda, Kongres bahasa, dan lainnya terjadi di aras politik dan menyisakan pluralitas yang sama sekali belum terjembatani dengan baik. Simbolisasi tentang kebudayaan nasional sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah pada kenyataannya tidak menjadi alat efektif melebur perbedaan yang ada. Kebudayaan nasional yang sedianya dipersiapkan untuk untuk mengatasi kemungkinan konflik yang dapat diakibatkan oleh perbedaan yang ada di aras kebudayaan daerah. Usaha ini cukup problematis karena dalam persandingan ragam kebudayaan selalu ada unsur-unsur yang menegaskan diversitas kebudayaan dan bahkan singularitasnya. Dalam problematika seperti inilah pembentukan “kepribadian nasional” selalu menyertakan negosiasi nilai, transaksi ide, dan komunikasai intens yang bisa jadi memang akan sangat melelahkan dan tak akan selesai dalam kurun satu generai. Uraian menarik soal ini bisa dibaca dalam Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta : LP3ES, Cet. II, 1988, terutama bab 7, “Kebudayaan : Agenda Buat Daya Cipta.”
0 Comments