Positioning the problem
Pada kesempatan yang sangat kebetulan Saudara Ishom el Saha meminta saya untuk menulis tentang “nalar Post-Tradisionalisme Islam.” Mengejutkan karena dalam state of mind saya nalar (reason) itu pada dirinya sendiri bersifat universal, paling tidak sebelum kedatangan Immanual Kant yang kemudian menggiring kita untuk meberikan kategori tehadap nalar menjadi nalar murni dan nalar praktis. Hingga sejauh itu kemudian nalar mendapat sematan-sematan afinitas yang secara lebih ataupun kurang berbobot ideologis, politis, ataupun ekonomis.
Pada posisi demikian sangat sulit kita bisa berdiri bebas dari berbagai bias yang ada tersebut. Karenanya dalam tulisan ini saya tidak akan meletakkan pretensi yang teramat tinggi untuk bebas dari bias yang ada. Bukankah bias-bias itu pula yang ikut mengkostruksikan kesadaran kita ? Bukankah posisi kedirian seseorang selalu berada dalam lintasan bias-bias afinitas yang begitu kompleks secara sosiologis, historis, ataupun epistemologis, sehingga posisi seseorang senantiasa merepresentasikan posisi politiknya.
Dari titik ini kita akan memasuki pembahasan menyangkut “nalar Post-Tradisionalisme Islam” dari sisi yang sangat mendasar. Dalam mana secara epistemologis, Post-Tradisionalisme Islam diinisiasikan sebagai gerak dekonstruksi dan rekonstruksi sekaligus. Pertama, dekonstruksi dialamatkan kepada bangunan pemikiran atau imajinasi tentang otentisitas ("kemurnian") Islam yang dimunculkan oleh kalangan-kalangan yang menempatkan teks sebagai wujud paling otentik dari penghayatan keberagamaan. Kemurnian ini, sebagaimana sering dikampanyekan dalam tradisi salafiyah, Wahabi, hingga Neo-Modernisme Fazlur Rahman, seringkali diidentikkan dengan sesuatu yang terberi secara selesai (given), diperlakukan secara taken for granted. Yakni ketika seseorang menyematkan afinitas keberagamaan pada dirinya. Padahal, kalau kita mengikuti hasil-hasil penelitian yang dilakukan kalangan peminat cultural studies dan post-colonial studies, mulai dari Edward Said, Spivak, Foucault hingga Stuart Hall, imajinasi tentang kemurnian adalah sebuah konstruk yang berasal dari relasi-relasi kuasa. Satu entitas yang berdiri melingkupi proses produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan.
Kemurnian, dengan demikian adalah aparat pendefinisi yang diintroduksi untuk menjadi pengawal dari otentisitas sebuah ajaran oleh kalangan Wahabi, ataupun kelompok-kelompok lain pendukung gerakan pemurnian Islam. Tapi mengapa ia diperlukan ? Jelas, karena kekuatan di luar agama diperlukan untuk memfasilitasi "social order" yang diandaikan hanya bisa ditegakkan di atas fondasi kemurnian ajaran.
Di sisi yang lain, kedua, Post-Tradisionalisme dinisiasikan sebagai gerak rekonstruksi kesadaran yang diorientasikan untuk mengembalikan kesadaran ke titik awal dari mana penghayatan keagamaan bermula. Sebuah kesadaran beragama yang bukan berasal dari orbit eksternal keseharian umat Islam. Melainkan kesadaran yang dikristalisasikan melalui pengalaman yang sangat empiris. Gerak demikian dibutuhkan terutama untuk menghindari semakin diasingkannya agama (Islam) dari cerapan pemahaman ummatnya.
Banyak sudah para ilmuwan dan penulis mempersembahkan karyanya untuk mempermudah bagaimana membaca Islam Indonesia dari segi aliran, asal penyebaran, hingga tipologi keislaman yang berkembang di Indonesia. Azyumardi Azra barangkali coba meneruskan apa yang dilakukan Mona Abaza untuk menyingkap jaringan kecendekiaan (ulama) yang membentangkan jarak tempuh geografis penyebaran Islam ke Indonesia. Sebuah upaya rintisan yang pasti sangat berharga. Sementara yang lain mencoba menampilkan wajah ragam keislaman dan pengaruhnya dalam konstelasi kepolitikan Indonesia mutakhir. Terlalu banyak memang untuk dihitung ataupun disebutkan satu-satu di sini, terlebih jika melihat gegap gempitanya perbincangan menyangkut wacana keislaman pasca 80an di tanah air. Satu fase yang menandai bergesernya komunikasi politik Orde Baru (Soeharto) dengan kalangan Islam.
Pertanyaannya, setelah banyak karya yang ada masih perlukah kiranya kita melanjutkan perdebatan menyangkut otentisitas Islam, ataupun pernik-pernik islamic studies lainnya. Dari mana kita harus menimba relevansi ataupun urgensinya. Pertanyaan-pertanyaan yang lebih berbau epistemologis yang bisa jadi senantiasa menyisakan ruang perdebatan, pro dan kontra, ataupun kesalahpahaman. Tapi terlepas dari keributan yang ditimbulkan berbagai pertanyaan tersebut perlu kiranya penulis menyampaikan argument etis pembuatan tulisan ini. Pertama, tulisan ini dibuat dalam alur yang mengalir, ringan dan tanpa membebani diri dengan prasayarat-prasyarat akademis yang seringkali rumit dan membuat kita mati kutu dalam berkarya. Dalam konteksnya yang khusus tulisan ini memang dibuat untuk memprovokasikan semacam “pemberontakan akademis” ataupun gerak subversi yang mewartakan tentang perlunya upaya memperlebar daya jangkau optic pembacaan kita terhadap satuan wacana yang kemudian kita sebut sebagai islamic studies tersebut.
Kedua, sebagai sebuah provokasi, bisa jadi tulisan ini akan menyerempet wilayah-wilayah sensitif yang digawangi oleh kelompok-kelompok tertentu. Ini diperlukan karena berbagai kegiatan pewacanaan islamic studies hingga saat ini cenderung menggiring Islam ke wilayah yang sama sekali asing dari apa yang ada dalam penghayatan kebanyakan ummatnya. Yakni sebentuk keislaman yang justru lahir bukan dari kubangan penghayatan pemeluknya melainkan bentukan dari proses diskursif yang difasilitasi oleh kecanggihan teknologi. Adonan wacana dalam mesin teknologi komunikasi itulah yang kemudian menghasilkan “rasionalitas teknologis” berwajah Islam[1].
Studi agama,
dan... rekayasa sosial
Sebuah studi dalam dirinya sendiri tentu diberangkatkan dari asumsi dasar tertentu, begitupun studi agama. Persoalan asumsi menjadi penting karena sebuah studi tidak akan mungkin dilakukan tanpa membekali diri dengan asumsi tertentu. Persoalan muncul ketika asumsi dalam dirinya sendiri selalu berjarak dengan obyek sebab asumsi adalah pantulan proyeksi seseorang yang dihasilkan dari pengamatan terhadap obyek tertentu. Dan hampir dapat dipastikan bahwa asumsi dan obyek adalah dua hal yang berdiri secara terpisah satu sama lain. Mereka bertemu hanya dalam kegiatan pengamatan seseorang terhadap obyek tertentu, dan manakala asumsi ditetapkan maka ia telah menjadi berdiri sendiri. Asumsi kemudian berdiri sebagai realitas kedua yang merupakan bentukan proyeksi pengamatan seseorang yang berjarak dengan obyek aslinya. Jadi obyek adalah realitas pertama sedangkan asumsi adalah realitas kedua yang dikonstruksikan.
Sebagai sebuah hasil konstruksi maka wajar bila hasil kajian kemudian tidak mungkin dibayangkan berdiri secara netral dihadapan obyek. Ia senantiasa bias pengamat dan memantulkan pandangan seseorang. Dalam posisi demikian studi agama menjadi medan kontestasi ide dan gagasan yang mengharmonikan di dalamnya segenap persepsi, sudut pandang dan tentu berbagai kepentingan. Sehingga teramat sulit bagi saya melukiskan satu model studi agama yang bebas kepentingan. Dalam dirinya sendiri studi agama akan selalu mewakili kepentingan untuk melakukan penelaahan terhadap ekspresi keberagamaan dan manifestasinya dalam kehidupan sosial.
Kondisi seperti itulah yang kemudian memungkinkan kita untuk membuat zona-hubung yang menyambungkan kegiatan studi (pembacaan) dengan rekayasa sosial. Ini terjadi lebih karena sebuah studi tidak mungkin memisahkan diri dari konteks dan dinamika sosial yang melingkupinya. Itulah kira-kira hukum besi yang akan terus memenjarakan setiap kegiatan penalaran. Dalam hukum besi demikian pertanyaan yang kemudian bisa kita ajukan adalah dimanakah sebenarnya energi gerak dari setiap kegiatan pembacaan, termasuk di dalamnya studi agama ? pertanyaan demikian menurut saya lebih relevan diajukan ketimbang kita harus bertanya mazhab atau aliran apa yang sedang menjadi mainstream dalam studi agama.
Alasan paling mudah bagi munculnya pertanyaan itu adalah karena studi agama berjalin kelindan dengan proses rekayasa sosial maka studi agama berjalan seiring dengan proses tersebut. Atau bahkan lebih ekstrim bisa dikatakan bahwa studi agama berada dalam posisi in line, dan tak jarang, in search of social order that is the main goal of soscial engineering. Karenanya, studi agama kemudian muncul sebagai salah satu kereta luncur bagi agenda-agenda rekayasa sosial yang sedang dioperasikan di wilayah tertentu.
Di situlah kemudian jawaban dari pertanyaan menyangkut energi gerak studi agama menurut saya bisa kita temukan secara jelas. Bahwa studi agama sebagaimana layaknya kegiatan pembacaan dalam tradisi ilmu-ilmu sosial lainnya menimba energi geraknya dari proses rekayasa sosial. Yang juga bisa dikatakan bahwa trend yang berkembang dalam studi agama sangat berhubungan dengan –atau bahkan tergantung pada- trend yang muncul dalam proses rekayasa sosial. Pada titik inilah mengapa pertanyaan menyangkut aliran mainstream dalam studi agama, menurut saya, tidak menyentuh wilayah inti dari kegiatan pembacaan terhadap Islam.
Studi agama dalam posisi demikian lebih banyak berurusan dengan bagaimana membuat trend yang mengkonsultasikan relevansinya di hadapan agenda rekayasa sosial. Tak heran jika trend yang muncul dalam studi agama seringkali berubah seiring perubahan yang terjadi dalam skenario rekayasa sosial. Itulah mengapa kita senantiasa menemukan “jenis baru islam” pada setiap tahap perkembangan studi agama, dan hampir jarang sekali kita menemukan ‘jenis baru pemikiran” yang memang agak minim dalam islamic studies. Taksonomi atas berbagai aliran dan pemikiran Islam senantiasa mencatat “jenis baru” seperti perkembangan di dunia mode dan fashion. Teramat disayangkan jika perkembangan tersebut hanya terjadi dalam sapuan-sapuan singkat yang hampir sama sekali tidak menyisakan perubahan berarti apalagi kemajuan. Tren yang ada datang dan pergi silih berganti seperti model pakaian ataupun consumer goods lainnya. Sayang ia hanya selintas, sebentar, dan akhirnya hanya semburat.
Trend studi agama kemudian hanya mencatatkan munculnya peristilahan baru dan logosentrisme yang semakin berlebihan. Rasionalisme, Neo-Modernisme, ataupun Revivalisme, dan masih banyak lagi peristilahan yang akan terlalu panjang untuk disebut di sini. Tapi satu yang sepertinya tidak berubah dari semua itu, yakni penghayatan terhadap Islam. Sesuatu yang sepertinya semakin ditinggalkan oleh para pengkaji dan peminat studi agama. Dalam kondisi itu Islam seperti berjenis kelamin ganda; pertama, islam yang lantang digemborkan para pendakwah, peminat studi agama, ataupun difatwakan MUI untuk satu urusan tertentu, termasuk di dalamnya islam yang dibirokrasikan melalui berbagai aturan semisal Renstra Cianjur Mukti Tur Islami, ataupun Surat Edaran Bupati Tasikmalaya yang memprasaratkan kemampuan baca al-Qur’an bagi calon siswa SD beragama Islam. Di situlah trend muncul dan menjadi hingar binar yang begitu wah serta memukau.
Sementara, kedua, islam jenis lain yang hidup dalam penghayatan para pemeluk Islam Sasak, Islam Wetu Telu (sebagaimana sering dituturkan oleh Ahmad Baso), ataupun Islam Jawa yang sangat kental membawa nuansa kejawen. Sebentuk penghayatan akan kepercayaan yang sepertinya tak pernah berubah. Satu penghayatan yang mengkristalisasikan di dalamnya cerapan pengalaman spiritual, pengalaman kehidupan, dan olah batin yang terlalu dalam untuk dijejaki oleh teorema produk modernisme. Ruang yang terlalu sepi untuk bisa dikunjungi para peneliti pelancong pemuja modernisme yang memperlakukan tradisi dan khazanah sebagai barang museum yang hanya pantas dipajang di etelase modernisme.
Pertanyaannya adalah jenis islam manakah yang akan menjadi “subyek” pembicara dalam kajian kita. Jika jenis yang pertama, maka di situlah para trend-setter berada, dari situ pula para pendongeng biasa bertutur tentang islam yang semarak, syi’ar islam yang maju, dan gairah keberagamaan yang meledak-ledak lewat tabligh akbar kelas parkir Timur Senayan hingga ke pengajian kelas RT-RW di kampung-kampung.
Islam jenis pertama adalah realitas kedua bentukan teknologi diskursif yang dikokohkan oleh kecanggihan mesin modernisme. Jenis keislaman yang dikonstruksikan untuk kampanye penyesuaian agama dengan agenda pembangunan. Sementara islam jenis kedua adalah realitas pertama yang digawangi kyai-kyai kampung, guru ngaji di mushalla-mushalla yang alergi menjadi orang populer.
Jenis pertama berjalin langsung dengan trend rekayasa sosial sementara jenis kedua berkait dengan penghayatan tentang islam. Sejenis keislaman yang diberangkatkan dari pertanyaan “bagaimana seseorang menghayati Islam” dan bukan “bagaimana Islam diteorisasi, dan dikonstruksikan oleh satu pola pemahaman tertentu yang rumit.” Sebuah bentuk keberagamaan yang terbuka untuk dihayati oleh segenap orang tanpa harus meributkan background akademik, ekonomi, status sosial, ataupun lebel-lebel lainnya.
Dari sini mungkin kita bisa mengambil kesimpulan sementara bahwa energi gerak studi agama (islamic studies) lebih banyak berasal dari orbit eksternal yang mewartakan keperluan diakomodasinya agenda-agenda rekayasa sosial dalam pewacanaan agama. Energi gerak yang sama sekali tidak memiliki titik sambung dengan agama itu sendiri. Tapi mengapa terjadi demikian ? Sepertinya kita harus bergerak ke wilayah teks yang menjadi pusat sitem dalam studi-agama. Pergerakan kajian ke wilayah teks tidak saja berkaitan dengan isi dan kandungan makna tapi sebaliknya lebih berhubungan dengan bagaimana teks dikodifikasikan, mengalami administering, dan kemudian diresmikan.
Asalnya, Jelas Teks;
Teks Memberangus Keragaman
Al-Qur’an awalnya adalah teks terbuka, namun menjadi Tertutup ketika sepeninggal Muhammad para sahabat melakukan kontestasi gagasan melalui kodifikasi. Dalam proses itulah terjadi pemilahan, pemilihan, dan ataupun pemarginalan mushaf-mushaf di luar mainstream atas nama “bisa diterima kebenaran akal dan interpretasi segolongan sahabat.” Teks yang awalnya terbuka kemudian menjadi tertutup karena menjadi monopoli segelintir elite sahabat Nabi yang merasa perlu (baca: berambisi) menegakkan klaim-klaim kebenaran melalui tafsir yang telah mereka sepakati kebenarannya, dan bersamaan dengan itu melakukan tindak “vigilantisme tafsir” (tack the exegesis to their back ?).
Pemahaman agama yang semula menjadi medan terbuka bagi penghayatan manusia atas ajaran Tuhan melalui Muhammad berubah menjadi ajang dominasi klaim-klaim kebenaran atas nama segelintir orang. Medan penghayatan yang semula adalah ruang bebas kreasi penghayatan bagi individu-individu menjadi medan pertarungan pengaruh antar kelompok. Dan yang kemudian tercipta adalah pemahaman agama yang bergerak di orbit benar-salah, mainstream-non-mainstream, mu’tabar-ghair mu’tabar. Sebuah persoalan yang hanya merepresentasikan kepentingan elite sahabat tertentu tapi tidak menjadi denyut nadi kebutuhan umat. Bukankah ummat hanya membutuhkan tuntunan yang mengantarkan mereka kepada pengenalan yang lebih baik tentang inti ajaran Tuhan ?
Dalam proses penafsiran juga terjadi proses menyatukan keragaman fakta sosial ke dalam bahasa teologi yang tunggal. Pembahasa-teologian ini menjadikan realitas umat yang begitu ragam kebutuhan, kondisi, dan karakter budayanya tertutup oleh tunggalnya teks yang dinarasikan sebagai satu-satunya kebenaran. Realitas pemahaman umat tentang Tuhan sebagai entitas adikodrati yang di kalangan umat begitu beragam disatukan oleh kehendak untuk membuatnya seragam. Tuhan dalam teks suci adalah wajah Tuhan yang satu, padahal wajah Tuhan dalam dimensi sosiologis penghayatan umat begitu beragam. Di titik inilah penafsiran pertama kali melahirkan ketegangan antara ambisi untuk menyatukan model kebenaran pemahaman tentang Tuhan dan ajarannya dengan ragam variasi pemahaman umat tentang eksistensi Tuhan.
Dari kondisi demikian muncul persoalan setidaknya pada dua hal; pertama, pada tingkat bahasa teologis yang merupakan penerjemahan dari kata-kata Tuhan yang kemudian menjadi teks standar. Pertanyaannya apa memang maknan yang dipikirkan Tuhan mampu dikandung secara utuh oleh teks teologis tersebut ? Kedua, persoalan di tingkat konstruksi teks teologis tersebut. Dalam mana tradisi agama wahyu senantiasa tidak menjadikan Nabi sebagai pembuat teks. Teks dikodifikasikan selalu sesudah sepeninggal Nabi. Itu berarti proses pembahasan dilakukan oleh sahabat tanpa dengan supervisi dari Muhammad. Dari mana jaminan kebenaran pembahasaan diperoleh ketika Sang Nabi sebagai satu-satunya figur penerima pesan Tuhan telah berada di luar proses kodifikasi yang juga berarti tidak lagi memiliki kontrol langsung terhadap proses pembahasaan tersebut. Bukankah dalam proses demikian terbantang jarak epistemologis yang lebar antara pemahaman Muhammad atas pesan Tuhan dengan pemahaman Abu Bakar, misalnya, tentang pesan yang sama. Jarak epistemologis inilah yang tidak bisa dihindari oleh proses kodifikasi teks. Dari sini persoalan berlanjut ke wilayah apakah yang kita baca saat ini sebagai kitab suci itu jejak Muhammad ataukah jejak sang penulis Teks ? Dan bagaimana dengan tafsir ?
Menggugat Tafsir,
Menggugat Dominasi;
Penafsiran bisa jadi bagi beberapa kalangan tidak sama sekali merepresentasikan apa-apa selain proses transliterasi bahasa. Karena memang sekilas penafsiran lebih berbobot linguistik dari pada hermeneutik. Asumsi ini pasti akan segera berbalik ketika struktur internal penafsiran ditelaah lebih lanjut dan kemudian unsur-unsur formatifnya disajikan sebagai seperangkat unit yang masing-masing memiliki otonomi relatif satu sama lain. Sajian ini pula yang akan tampak ketika penafsiran dihadirkan sebagai rangkaian proses dialektika antar-unsur yang melibatkan di dalamnya tidak saja aspek kebahasaan, melainkan juga kebudayaan, sistem makna dari satuan kebudayaan, worldview, state of minds, dan juga psikologi penafsir yang merupakan aparat dominan dalam proses penafsiran. Ringkasnya penafsiran berdiri sebagai titik hubung antara logika bahasa, logika budaya, dan juga logika nilai serta aspek psikologi penafsir. Di titik inilah gugusan makna bernegosiasi satu sama lain dalam dialektika yang ketat dan tak jarang merepresentasikan relasi dominasi dan subordinasi.
Dalam jejaring rumit berbagai unsur tersebut psikologi penafsir bisa jadi memiliki energi figurative yang relatif dominan bila dibanding dengan unsur lainnya. Ini muncul sebagai konsekuensi lanjutan berdirinya penafsir dengan perangkat nilai, pandangan, konsepsi teoritis, dan juga state of minds di hadapan objek kajiannya. Dari sini kemudian muncul proposisi yang secara umum menggambarkan posisi objek kajian yang bagaikan pasien koma di hadapan seorang dokter; tak berdaya menolak definisi diagnosa yang dituliskan sang dokter. Proposisi semacam ini secara inheren mengususng probabilitas yang begitu kental tentang terjadinya dominasi berlebihan dari arah penafsir, sebagai satu-satunya unsur berkesadaran dalam dialektika internal perangkat penafsiran.
Kenyataan seperti itulah yang secara historis melatarbelakangi perdebatan panjang apakah ilmu bebas nilai ataukah tidak, adakah ilmu memiliki relasi yang intens dengan berbagai logika dan mekanisme di luar diri pengarang, peneliti dan seterusnya. Pertanyaannya kemudian, dimanakah Post-Tradisionalisme Islam menempatkan posisi pijaknya ?
Post-Tradisionalisme Islam,
dan...Subversi Akademik
Dari latar belakang seperti itu definisi “nalar Post-Tradisionalisme” mulai tergambar lebih jelas dalam sketsa konseptual. Secara semiotis Post-Tradisionalisme merupakan peristilahan yang memantik perdebatan akademik cukup panjang dan bahkan terkesan mauquf hingga kini. Konsekuensi ini terlahir terutama karena Post-Tradisionalisme tidak mengkonsultasikan legitimasi akademisnya secara ketat. Bukan saja karena peristilahan tersebut tidak ditemukan dalam geografi kamus ilmu-ilmu sosial, janggal bagi sementara akademisi dan kalangan tertentu, melainkan juga karena ia melakukan “subversi” terhadap berbagai kemapanan tradisi akademik yang selalu memprasyaratkan ketundukan terhadap berbagai kaidah dan pakem tertentu.
Post-Tradisionalisme Islam dalam kenyataannya memang mendulang definisi etimologisnya secara berbeda dengan Tradisionalisme konvensional, Modernisme, Postmodernisme, ataupun Poststrukturalisme, dan juga belakangan Poskolonialisme. Perbedaan dan demarkasi epistemologis juga dimunculkan ketika berhadapan dengan Neo-Modernisme, terlebih Neo-Tradisonalisme. Subversi akademis tersebut muncul di bawah terang kesadaran bahwa berbagai peristilahan yang ada tersebut tidak mampu memfasilitasi adanya ruang yang memadai bagi pertemuan pelbagai pemikiran dan tradisi dari ragam peradaban yang ingin diusung oleh Post-Tradisionalisme. Konstruksi yang ditawarkan oleh masing-masing masih menyimpan nalar modernitas yang, tidak saja patologis, namun juga dominatif dan hegemonik.
Energi dialog antar-tradisi yang ada pada kelanjutannya tidak mungkin untuk dibiarkan tunduk dibawah subordinasi kaidah-kaidah akademis yang memang seringkali kaku, formalistik, bipolar, serta reduksionis. Tapi sebaliknya, harus dicarikan ruang-ruang yang memadai untuk memediasikan penerjemahan gagasan dan ide kreatifnya. Logika seperti ini dipostulatkan oleh kesadaran bahwa masing-masing pihak, dari posisi masing-masing, memiliki hak yang diterimanya dari Tuhan untuk mengartikulasikan ide dan gagasan secara bebas dan juga berhak atas respeksi dan apresiasinya masing-masing. Kesadaran seperti inilah yang kemudian dinilai asing dan subversif dalam tradisi akademis yang bias modernitas dan reduksionis pada banyak segi tersebut.
Dengan demikian, Post-Tradisionalisme secara filosofis dikerangkakan dari hibriditas ide dan gagasan yang meski eklektik, comot sana-sini, dan menyerupai cultural hodgepodge tetap memiliki akar tunjangnya dari ranah tradisi. Yakni tradisi sosiokultural dan politik yang diampu oleh satuan geografis masyarakat yang bernama Indonesia ini. Dengan konstruksi filosofis demikian, di aras ontologis, Post-Tradisionalisme mendefinisikan dirinya sebagai tidak saja muara tapi sekaligus pusaran dari persilangan ide dan gagasan yang berasal dari ragam mata air tradisi dan pemikiran. Muara dalam konteks ini selanjutnya menghadirkan diri sebagai ruang transaksi ide dan gagasan menyangkut politik, demokrasi dan Islam secara bersamaan, dan selanjutnya pusaran yang mengartikulasikan energi gerak dialogis antar-tradisi yang ada.
Dalam muara pertemuan ide, gagasan dan pemikiran berbagai tradisi ini, Post-Tradisionalisme meretas jalan bagi definisi epistemologisnya. Konstruksi epistemologis Post-Tradisionalisme dengan demikian dirajut dari jalinan rasio komunikasi Habermas yang memfasilitasi transasksi ide, gagasan, dan nilai antar tradisi dalam spirit pencarian keluar dari rasio aufklarung Cartesian yang instrumentalis, bipolar, berbangun center-periferi, reduksionis dan tidak memberikan apresiasi yang memadai kepada tradisi dan lokalitas. Bangun pusat-pinggir yang masih diwarisi oleh epistemologi Habermas yang modernbias selanjutnya harus dipugar dengan pisau analisa kultural Gramscian yang menghendaki terjadinya persebaran pusat-pusat definisi kebudayaan. Persebaran pusat-pusat produksi makna dalam berbagai tradisi Islam yang bersetting dominasi dan hegemoni pada kelanjutannya harus diklarifikasi dengan kerangka epistemologi yang disumbangkan oleh pemikir-pemikir Muslim seperti Abu Zayd, Abed al-Jabiri, Mohammad Arkoun, Bassam Tibi yang terlebih dahulu memberikan konribusi teoritiknya dengan memanfaatkan piranti analisis Nieztsche, Foucoult, Levi Strauss, dan pemikir lainnya. Konstruk kritik wacana agama yang akrab dengan genalogi tradisi, dekonstruksi dan rekonstruksi post-hegelian dengan begitu menyediakan piranti analisis yang memadai untuk memugar, mengklarifikasi, dan mendudukkan berbagai ketegangan epistemologis yang tersimpan dalam memori masing-masing tradisi untuk kemudian mendudukkannya di meja negosiasi kultural yang lebih berimbang disemangati rasio komunikatif Habermas.
Retasan dialog berbagai tradisi dari ragam ranah peradaban tersebut diperlukan untuk mencari jalan pemecahan atas kebekuan yang menyelimuti konstruksi pemikiran umat Islam dan secara bersamaan memberikan jawaban terhadap berbagai patologi yang dikandung oleh modernitas Barat yang terlalu alergi untuk menggelar dialog terbuka antar-tradisi. Dalam skema seperti ini sumbangan Hassan Hanafi, Edward Said, serta Ali Asghar Enginer dari posisi setting konseptualnya masing-masing patut juga untuk diberi apresiasi secara proporsional.
Banyaknya kebutuhan yang harus ditambalkan dalam kekurangan piranti akademis itulah yang menjadi concern dari Post-Tradisionalisme Islam. Sebuah subversi yang memang tidak pernah dikenal dalam tradisi akademik kita. Subversi yang diprovokasikan untuk meretas pemahaman demi menghindari misreading, salah alamat, salah paham, dan apalagi “paham yang salah.” Wallahu A’lam.
Bahan Bacaan
Atho’, Nafisul & Arif Fahrudin., Hermeneutika Transendental; dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Yogjakarta : Ircisod, Cet. I, 2003.
Budi hardiman, Francisco., Kritik Ideologi; Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Yogjakarta : Pustaka Kanisius, 1990.
Hidayat, Komaruddin., Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta : Paramadina, 1996.
Kleden, Ignas., Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta : LP3ES, Cet. I, 1987
Masdar, Umaruddin., Agama Kolonial; Colonial Mindset dalam Pemikiran Islam Liberal, Yogjakarta : KLIK.R, Cet. I, 2003.
Nordholt, N. Schulte & Leontine Visser (ed.), Ilmu Sosial di Asia Tenggara; dari partikularisme ke universalisme, Jakarta : LP3ES, Cet. I, 1997.
Pals, Daniel L., Dekonstruksi Kebenaran; Kritik Tujuh Teori Agama (terj. Inyiak Ridwan Munir), Yogjakarta : Ircisod, 2001.
Simai, Mihaly., The Democratic Process and The Market; Challenges of the Transition, Tokyo : United Nation Universuty Press, 1999.
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta : Gramedia, 1998.
[1] Rasionalitas teknologis diperkenalkan oleh Jurgen Habermas untuk menunjuk hal-hal yang pada mulanya tidak “rasional” dan diterima publik tetapi karena dikampanyekan secara terus menerus dengan fasilitasi media dan teknologi, ia bermetamorfosa menjadi sesuatu yang rasional dan dibutuhkan.
Pada kesempatan yang sangat kebetulan Saudara Ishom el Saha meminta saya untuk menulis tentang “nalar Post-Tradisionalisme Islam.” Mengejutkan karena dalam state of mind saya nalar (reason) itu pada dirinya sendiri bersifat universal, paling tidak sebelum kedatangan Immanual Kant yang kemudian menggiring kita untuk meberikan kategori tehadap nalar menjadi nalar murni dan nalar praktis. Hingga sejauh itu kemudian nalar mendapat sematan-sematan afinitas yang secara lebih ataupun kurang berbobot ideologis, politis, ataupun ekonomis.
Pada posisi demikian sangat sulit kita bisa berdiri bebas dari berbagai bias yang ada tersebut. Karenanya dalam tulisan ini saya tidak akan meletakkan pretensi yang teramat tinggi untuk bebas dari bias yang ada. Bukankah bias-bias itu pula yang ikut mengkostruksikan kesadaran kita ? Bukankah posisi kedirian seseorang selalu berada dalam lintasan bias-bias afinitas yang begitu kompleks secara sosiologis, historis, ataupun epistemologis, sehingga posisi seseorang senantiasa merepresentasikan posisi politiknya.
Dari titik ini kita akan memasuki pembahasan menyangkut “nalar Post-Tradisionalisme Islam” dari sisi yang sangat mendasar. Dalam mana secara epistemologis, Post-Tradisionalisme Islam diinisiasikan sebagai gerak dekonstruksi dan rekonstruksi sekaligus. Pertama, dekonstruksi dialamatkan kepada bangunan pemikiran atau imajinasi tentang otentisitas ("kemurnian") Islam yang dimunculkan oleh kalangan-kalangan yang menempatkan teks sebagai wujud paling otentik dari penghayatan keberagamaan. Kemurnian ini, sebagaimana sering dikampanyekan dalam tradisi salafiyah, Wahabi, hingga Neo-Modernisme Fazlur Rahman, seringkali diidentikkan dengan sesuatu yang terberi secara selesai (given), diperlakukan secara taken for granted. Yakni ketika seseorang menyematkan afinitas keberagamaan pada dirinya. Padahal, kalau kita mengikuti hasil-hasil penelitian yang dilakukan kalangan peminat cultural studies dan post-colonial studies, mulai dari Edward Said, Spivak, Foucault hingga Stuart Hall, imajinasi tentang kemurnian adalah sebuah konstruk yang berasal dari relasi-relasi kuasa. Satu entitas yang berdiri melingkupi proses produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan.
Kemurnian, dengan demikian adalah aparat pendefinisi yang diintroduksi untuk menjadi pengawal dari otentisitas sebuah ajaran oleh kalangan Wahabi, ataupun kelompok-kelompok lain pendukung gerakan pemurnian Islam. Tapi mengapa ia diperlukan ? Jelas, karena kekuatan di luar agama diperlukan untuk memfasilitasi "social order" yang diandaikan hanya bisa ditegakkan di atas fondasi kemurnian ajaran.
Di sisi yang lain, kedua, Post-Tradisionalisme dinisiasikan sebagai gerak rekonstruksi kesadaran yang diorientasikan untuk mengembalikan kesadaran ke titik awal dari mana penghayatan keagamaan bermula. Sebuah kesadaran beragama yang bukan berasal dari orbit eksternal keseharian umat Islam. Melainkan kesadaran yang dikristalisasikan melalui pengalaman yang sangat empiris. Gerak demikian dibutuhkan terutama untuk menghindari semakin diasingkannya agama (Islam) dari cerapan pemahaman ummatnya.
Banyak sudah para ilmuwan dan penulis mempersembahkan karyanya untuk mempermudah bagaimana membaca Islam Indonesia dari segi aliran, asal penyebaran, hingga tipologi keislaman yang berkembang di Indonesia. Azyumardi Azra barangkali coba meneruskan apa yang dilakukan Mona Abaza untuk menyingkap jaringan kecendekiaan (ulama) yang membentangkan jarak tempuh geografis penyebaran Islam ke Indonesia. Sebuah upaya rintisan yang pasti sangat berharga. Sementara yang lain mencoba menampilkan wajah ragam keislaman dan pengaruhnya dalam konstelasi kepolitikan Indonesia mutakhir. Terlalu banyak memang untuk dihitung ataupun disebutkan satu-satu di sini, terlebih jika melihat gegap gempitanya perbincangan menyangkut wacana keislaman pasca 80an di tanah air. Satu fase yang menandai bergesernya komunikasi politik Orde Baru (Soeharto) dengan kalangan Islam.
Pertanyaannya, setelah banyak karya yang ada masih perlukah kiranya kita melanjutkan perdebatan menyangkut otentisitas Islam, ataupun pernik-pernik islamic studies lainnya. Dari mana kita harus menimba relevansi ataupun urgensinya. Pertanyaan-pertanyaan yang lebih berbau epistemologis yang bisa jadi senantiasa menyisakan ruang perdebatan, pro dan kontra, ataupun kesalahpahaman. Tapi terlepas dari keributan yang ditimbulkan berbagai pertanyaan tersebut perlu kiranya penulis menyampaikan argument etis pembuatan tulisan ini. Pertama, tulisan ini dibuat dalam alur yang mengalir, ringan dan tanpa membebani diri dengan prasayarat-prasyarat akademis yang seringkali rumit dan membuat kita mati kutu dalam berkarya. Dalam konteksnya yang khusus tulisan ini memang dibuat untuk memprovokasikan semacam “pemberontakan akademis” ataupun gerak subversi yang mewartakan tentang perlunya upaya memperlebar daya jangkau optic pembacaan kita terhadap satuan wacana yang kemudian kita sebut sebagai islamic studies tersebut.
Kedua, sebagai sebuah provokasi, bisa jadi tulisan ini akan menyerempet wilayah-wilayah sensitif yang digawangi oleh kelompok-kelompok tertentu. Ini diperlukan karena berbagai kegiatan pewacanaan islamic studies hingga saat ini cenderung menggiring Islam ke wilayah yang sama sekali asing dari apa yang ada dalam penghayatan kebanyakan ummatnya. Yakni sebentuk keislaman yang justru lahir bukan dari kubangan penghayatan pemeluknya melainkan bentukan dari proses diskursif yang difasilitasi oleh kecanggihan teknologi. Adonan wacana dalam mesin teknologi komunikasi itulah yang kemudian menghasilkan “rasionalitas teknologis” berwajah Islam[1].
Studi agama,
dan... rekayasa sosial
Sebuah studi dalam dirinya sendiri tentu diberangkatkan dari asumsi dasar tertentu, begitupun studi agama. Persoalan asumsi menjadi penting karena sebuah studi tidak akan mungkin dilakukan tanpa membekali diri dengan asumsi tertentu. Persoalan muncul ketika asumsi dalam dirinya sendiri selalu berjarak dengan obyek sebab asumsi adalah pantulan proyeksi seseorang yang dihasilkan dari pengamatan terhadap obyek tertentu. Dan hampir dapat dipastikan bahwa asumsi dan obyek adalah dua hal yang berdiri secara terpisah satu sama lain. Mereka bertemu hanya dalam kegiatan pengamatan seseorang terhadap obyek tertentu, dan manakala asumsi ditetapkan maka ia telah menjadi berdiri sendiri. Asumsi kemudian berdiri sebagai realitas kedua yang merupakan bentukan proyeksi pengamatan seseorang yang berjarak dengan obyek aslinya. Jadi obyek adalah realitas pertama sedangkan asumsi adalah realitas kedua yang dikonstruksikan.
Sebagai sebuah hasil konstruksi maka wajar bila hasil kajian kemudian tidak mungkin dibayangkan berdiri secara netral dihadapan obyek. Ia senantiasa bias pengamat dan memantulkan pandangan seseorang. Dalam posisi demikian studi agama menjadi medan kontestasi ide dan gagasan yang mengharmonikan di dalamnya segenap persepsi, sudut pandang dan tentu berbagai kepentingan. Sehingga teramat sulit bagi saya melukiskan satu model studi agama yang bebas kepentingan. Dalam dirinya sendiri studi agama akan selalu mewakili kepentingan untuk melakukan penelaahan terhadap ekspresi keberagamaan dan manifestasinya dalam kehidupan sosial.
Kondisi seperti itulah yang kemudian memungkinkan kita untuk membuat zona-hubung yang menyambungkan kegiatan studi (pembacaan) dengan rekayasa sosial. Ini terjadi lebih karena sebuah studi tidak mungkin memisahkan diri dari konteks dan dinamika sosial yang melingkupinya. Itulah kira-kira hukum besi yang akan terus memenjarakan setiap kegiatan penalaran. Dalam hukum besi demikian pertanyaan yang kemudian bisa kita ajukan adalah dimanakah sebenarnya energi gerak dari setiap kegiatan pembacaan, termasuk di dalamnya studi agama ? pertanyaan demikian menurut saya lebih relevan diajukan ketimbang kita harus bertanya mazhab atau aliran apa yang sedang menjadi mainstream dalam studi agama.
Alasan paling mudah bagi munculnya pertanyaan itu adalah karena studi agama berjalin kelindan dengan proses rekayasa sosial maka studi agama berjalan seiring dengan proses tersebut. Atau bahkan lebih ekstrim bisa dikatakan bahwa studi agama berada dalam posisi in line, dan tak jarang, in search of social order that is the main goal of soscial engineering. Karenanya, studi agama kemudian muncul sebagai salah satu kereta luncur bagi agenda-agenda rekayasa sosial yang sedang dioperasikan di wilayah tertentu.
Di situlah kemudian jawaban dari pertanyaan menyangkut energi gerak studi agama menurut saya bisa kita temukan secara jelas. Bahwa studi agama sebagaimana layaknya kegiatan pembacaan dalam tradisi ilmu-ilmu sosial lainnya menimba energi geraknya dari proses rekayasa sosial. Yang juga bisa dikatakan bahwa trend yang berkembang dalam studi agama sangat berhubungan dengan –atau bahkan tergantung pada- trend yang muncul dalam proses rekayasa sosial. Pada titik inilah mengapa pertanyaan menyangkut aliran mainstream dalam studi agama, menurut saya, tidak menyentuh wilayah inti dari kegiatan pembacaan terhadap Islam.
Studi agama dalam posisi demikian lebih banyak berurusan dengan bagaimana membuat trend yang mengkonsultasikan relevansinya di hadapan agenda rekayasa sosial. Tak heran jika trend yang muncul dalam studi agama seringkali berubah seiring perubahan yang terjadi dalam skenario rekayasa sosial. Itulah mengapa kita senantiasa menemukan “jenis baru islam” pada setiap tahap perkembangan studi agama, dan hampir jarang sekali kita menemukan ‘jenis baru pemikiran” yang memang agak minim dalam islamic studies. Taksonomi atas berbagai aliran dan pemikiran Islam senantiasa mencatat “jenis baru” seperti perkembangan di dunia mode dan fashion. Teramat disayangkan jika perkembangan tersebut hanya terjadi dalam sapuan-sapuan singkat yang hampir sama sekali tidak menyisakan perubahan berarti apalagi kemajuan. Tren yang ada datang dan pergi silih berganti seperti model pakaian ataupun consumer goods lainnya. Sayang ia hanya selintas, sebentar, dan akhirnya hanya semburat.
Trend studi agama kemudian hanya mencatatkan munculnya peristilahan baru dan logosentrisme yang semakin berlebihan. Rasionalisme, Neo-Modernisme, ataupun Revivalisme, dan masih banyak lagi peristilahan yang akan terlalu panjang untuk disebut di sini. Tapi satu yang sepertinya tidak berubah dari semua itu, yakni penghayatan terhadap Islam. Sesuatu yang sepertinya semakin ditinggalkan oleh para pengkaji dan peminat studi agama. Dalam kondisi itu Islam seperti berjenis kelamin ganda; pertama, islam yang lantang digemborkan para pendakwah, peminat studi agama, ataupun difatwakan MUI untuk satu urusan tertentu, termasuk di dalamnya islam yang dibirokrasikan melalui berbagai aturan semisal Renstra Cianjur Mukti Tur Islami, ataupun Surat Edaran Bupati Tasikmalaya yang memprasaratkan kemampuan baca al-Qur’an bagi calon siswa SD beragama Islam. Di situlah trend muncul dan menjadi hingar binar yang begitu wah serta memukau.
Sementara, kedua, islam jenis lain yang hidup dalam penghayatan para pemeluk Islam Sasak, Islam Wetu Telu (sebagaimana sering dituturkan oleh Ahmad Baso), ataupun Islam Jawa yang sangat kental membawa nuansa kejawen. Sebentuk penghayatan akan kepercayaan yang sepertinya tak pernah berubah. Satu penghayatan yang mengkristalisasikan di dalamnya cerapan pengalaman spiritual, pengalaman kehidupan, dan olah batin yang terlalu dalam untuk dijejaki oleh teorema produk modernisme. Ruang yang terlalu sepi untuk bisa dikunjungi para peneliti pelancong pemuja modernisme yang memperlakukan tradisi dan khazanah sebagai barang museum yang hanya pantas dipajang di etelase modernisme.
Pertanyaannya adalah jenis islam manakah yang akan menjadi “subyek” pembicara dalam kajian kita. Jika jenis yang pertama, maka di situlah para trend-setter berada, dari situ pula para pendongeng biasa bertutur tentang islam yang semarak, syi’ar islam yang maju, dan gairah keberagamaan yang meledak-ledak lewat tabligh akbar kelas parkir Timur Senayan hingga ke pengajian kelas RT-RW di kampung-kampung.
Islam jenis pertama adalah realitas kedua bentukan teknologi diskursif yang dikokohkan oleh kecanggihan mesin modernisme. Jenis keislaman yang dikonstruksikan untuk kampanye penyesuaian agama dengan agenda pembangunan. Sementara islam jenis kedua adalah realitas pertama yang digawangi kyai-kyai kampung, guru ngaji di mushalla-mushalla yang alergi menjadi orang populer.
Jenis pertama berjalin langsung dengan trend rekayasa sosial sementara jenis kedua berkait dengan penghayatan tentang islam. Sejenis keislaman yang diberangkatkan dari pertanyaan “bagaimana seseorang menghayati Islam” dan bukan “bagaimana Islam diteorisasi, dan dikonstruksikan oleh satu pola pemahaman tertentu yang rumit.” Sebuah bentuk keberagamaan yang terbuka untuk dihayati oleh segenap orang tanpa harus meributkan background akademik, ekonomi, status sosial, ataupun lebel-lebel lainnya.
Dari sini mungkin kita bisa mengambil kesimpulan sementara bahwa energi gerak studi agama (islamic studies) lebih banyak berasal dari orbit eksternal yang mewartakan keperluan diakomodasinya agenda-agenda rekayasa sosial dalam pewacanaan agama. Energi gerak yang sama sekali tidak memiliki titik sambung dengan agama itu sendiri. Tapi mengapa terjadi demikian ? Sepertinya kita harus bergerak ke wilayah teks yang menjadi pusat sitem dalam studi-agama. Pergerakan kajian ke wilayah teks tidak saja berkaitan dengan isi dan kandungan makna tapi sebaliknya lebih berhubungan dengan bagaimana teks dikodifikasikan, mengalami administering, dan kemudian diresmikan.
Asalnya, Jelas Teks;
Teks Memberangus Keragaman
Al-Qur’an awalnya adalah teks terbuka, namun menjadi Tertutup ketika sepeninggal Muhammad para sahabat melakukan kontestasi gagasan melalui kodifikasi. Dalam proses itulah terjadi pemilahan, pemilihan, dan ataupun pemarginalan mushaf-mushaf di luar mainstream atas nama “bisa diterima kebenaran akal dan interpretasi segolongan sahabat.” Teks yang awalnya terbuka kemudian menjadi tertutup karena menjadi monopoli segelintir elite sahabat Nabi yang merasa perlu (baca: berambisi) menegakkan klaim-klaim kebenaran melalui tafsir yang telah mereka sepakati kebenarannya, dan bersamaan dengan itu melakukan tindak “vigilantisme tafsir” (tack the exegesis to their back ?).
Pemahaman agama yang semula menjadi medan terbuka bagi penghayatan manusia atas ajaran Tuhan melalui Muhammad berubah menjadi ajang dominasi klaim-klaim kebenaran atas nama segelintir orang. Medan penghayatan yang semula adalah ruang bebas kreasi penghayatan bagi individu-individu menjadi medan pertarungan pengaruh antar kelompok. Dan yang kemudian tercipta adalah pemahaman agama yang bergerak di orbit benar-salah, mainstream-non-mainstream, mu’tabar-ghair mu’tabar. Sebuah persoalan yang hanya merepresentasikan kepentingan elite sahabat tertentu tapi tidak menjadi denyut nadi kebutuhan umat. Bukankah ummat hanya membutuhkan tuntunan yang mengantarkan mereka kepada pengenalan yang lebih baik tentang inti ajaran Tuhan ?
Dalam proses penafsiran juga terjadi proses menyatukan keragaman fakta sosial ke dalam bahasa teologi yang tunggal. Pembahasa-teologian ini menjadikan realitas umat yang begitu ragam kebutuhan, kondisi, dan karakter budayanya tertutup oleh tunggalnya teks yang dinarasikan sebagai satu-satunya kebenaran. Realitas pemahaman umat tentang Tuhan sebagai entitas adikodrati yang di kalangan umat begitu beragam disatukan oleh kehendak untuk membuatnya seragam. Tuhan dalam teks suci adalah wajah Tuhan yang satu, padahal wajah Tuhan dalam dimensi sosiologis penghayatan umat begitu beragam. Di titik inilah penafsiran pertama kali melahirkan ketegangan antara ambisi untuk menyatukan model kebenaran pemahaman tentang Tuhan dan ajarannya dengan ragam variasi pemahaman umat tentang eksistensi Tuhan.
Dari kondisi demikian muncul persoalan setidaknya pada dua hal; pertama, pada tingkat bahasa teologis yang merupakan penerjemahan dari kata-kata Tuhan yang kemudian menjadi teks standar. Pertanyaannya apa memang maknan yang dipikirkan Tuhan mampu dikandung secara utuh oleh teks teologis tersebut ? Kedua, persoalan di tingkat konstruksi teks teologis tersebut. Dalam mana tradisi agama wahyu senantiasa tidak menjadikan Nabi sebagai pembuat teks. Teks dikodifikasikan selalu sesudah sepeninggal Nabi. Itu berarti proses pembahasan dilakukan oleh sahabat tanpa dengan supervisi dari Muhammad. Dari mana jaminan kebenaran pembahasaan diperoleh ketika Sang Nabi sebagai satu-satunya figur penerima pesan Tuhan telah berada di luar proses kodifikasi yang juga berarti tidak lagi memiliki kontrol langsung terhadap proses pembahasaan tersebut. Bukankah dalam proses demikian terbantang jarak epistemologis yang lebar antara pemahaman Muhammad atas pesan Tuhan dengan pemahaman Abu Bakar, misalnya, tentang pesan yang sama. Jarak epistemologis inilah yang tidak bisa dihindari oleh proses kodifikasi teks. Dari sini persoalan berlanjut ke wilayah apakah yang kita baca saat ini sebagai kitab suci itu jejak Muhammad ataukah jejak sang penulis Teks ? Dan bagaimana dengan tafsir ?
Menggugat Tafsir,
Menggugat Dominasi;
Penafsiran bisa jadi bagi beberapa kalangan tidak sama sekali merepresentasikan apa-apa selain proses transliterasi bahasa. Karena memang sekilas penafsiran lebih berbobot linguistik dari pada hermeneutik. Asumsi ini pasti akan segera berbalik ketika struktur internal penafsiran ditelaah lebih lanjut dan kemudian unsur-unsur formatifnya disajikan sebagai seperangkat unit yang masing-masing memiliki otonomi relatif satu sama lain. Sajian ini pula yang akan tampak ketika penafsiran dihadirkan sebagai rangkaian proses dialektika antar-unsur yang melibatkan di dalamnya tidak saja aspek kebahasaan, melainkan juga kebudayaan, sistem makna dari satuan kebudayaan, worldview, state of minds, dan juga psikologi penafsir yang merupakan aparat dominan dalam proses penafsiran. Ringkasnya penafsiran berdiri sebagai titik hubung antara logika bahasa, logika budaya, dan juga logika nilai serta aspek psikologi penafsir. Di titik inilah gugusan makna bernegosiasi satu sama lain dalam dialektika yang ketat dan tak jarang merepresentasikan relasi dominasi dan subordinasi.
Dalam jejaring rumit berbagai unsur tersebut psikologi penafsir bisa jadi memiliki energi figurative yang relatif dominan bila dibanding dengan unsur lainnya. Ini muncul sebagai konsekuensi lanjutan berdirinya penafsir dengan perangkat nilai, pandangan, konsepsi teoritis, dan juga state of minds di hadapan objek kajiannya. Dari sini kemudian muncul proposisi yang secara umum menggambarkan posisi objek kajian yang bagaikan pasien koma di hadapan seorang dokter; tak berdaya menolak definisi diagnosa yang dituliskan sang dokter. Proposisi semacam ini secara inheren mengususng probabilitas yang begitu kental tentang terjadinya dominasi berlebihan dari arah penafsir, sebagai satu-satunya unsur berkesadaran dalam dialektika internal perangkat penafsiran.
Kenyataan seperti itulah yang secara historis melatarbelakangi perdebatan panjang apakah ilmu bebas nilai ataukah tidak, adakah ilmu memiliki relasi yang intens dengan berbagai logika dan mekanisme di luar diri pengarang, peneliti dan seterusnya. Pertanyaannya kemudian, dimanakah Post-Tradisionalisme Islam menempatkan posisi pijaknya ?
Post-Tradisionalisme Islam,
dan...Subversi Akademik
Dari latar belakang seperti itu definisi “nalar Post-Tradisionalisme” mulai tergambar lebih jelas dalam sketsa konseptual. Secara semiotis Post-Tradisionalisme merupakan peristilahan yang memantik perdebatan akademik cukup panjang dan bahkan terkesan mauquf hingga kini. Konsekuensi ini terlahir terutama karena Post-Tradisionalisme tidak mengkonsultasikan legitimasi akademisnya secara ketat. Bukan saja karena peristilahan tersebut tidak ditemukan dalam geografi kamus ilmu-ilmu sosial, janggal bagi sementara akademisi dan kalangan tertentu, melainkan juga karena ia melakukan “subversi” terhadap berbagai kemapanan tradisi akademik yang selalu memprasyaratkan ketundukan terhadap berbagai kaidah dan pakem tertentu.
Post-Tradisionalisme Islam dalam kenyataannya memang mendulang definisi etimologisnya secara berbeda dengan Tradisionalisme konvensional, Modernisme, Postmodernisme, ataupun Poststrukturalisme, dan juga belakangan Poskolonialisme. Perbedaan dan demarkasi epistemologis juga dimunculkan ketika berhadapan dengan Neo-Modernisme, terlebih Neo-Tradisonalisme. Subversi akademis tersebut muncul di bawah terang kesadaran bahwa berbagai peristilahan yang ada tersebut tidak mampu memfasilitasi adanya ruang yang memadai bagi pertemuan pelbagai pemikiran dan tradisi dari ragam peradaban yang ingin diusung oleh Post-Tradisionalisme. Konstruksi yang ditawarkan oleh masing-masing masih menyimpan nalar modernitas yang, tidak saja patologis, namun juga dominatif dan hegemonik.
Energi dialog antar-tradisi yang ada pada kelanjutannya tidak mungkin untuk dibiarkan tunduk dibawah subordinasi kaidah-kaidah akademis yang memang seringkali kaku, formalistik, bipolar, serta reduksionis. Tapi sebaliknya, harus dicarikan ruang-ruang yang memadai untuk memediasikan penerjemahan gagasan dan ide kreatifnya. Logika seperti ini dipostulatkan oleh kesadaran bahwa masing-masing pihak, dari posisi masing-masing, memiliki hak yang diterimanya dari Tuhan untuk mengartikulasikan ide dan gagasan secara bebas dan juga berhak atas respeksi dan apresiasinya masing-masing. Kesadaran seperti inilah yang kemudian dinilai asing dan subversif dalam tradisi akademis yang bias modernitas dan reduksionis pada banyak segi tersebut.
Dengan demikian, Post-Tradisionalisme secara filosofis dikerangkakan dari hibriditas ide dan gagasan yang meski eklektik, comot sana-sini, dan menyerupai cultural hodgepodge tetap memiliki akar tunjangnya dari ranah tradisi. Yakni tradisi sosiokultural dan politik yang diampu oleh satuan geografis masyarakat yang bernama Indonesia ini. Dengan konstruksi filosofis demikian, di aras ontologis, Post-Tradisionalisme mendefinisikan dirinya sebagai tidak saja muara tapi sekaligus pusaran dari persilangan ide dan gagasan yang berasal dari ragam mata air tradisi dan pemikiran. Muara dalam konteks ini selanjutnya menghadirkan diri sebagai ruang transaksi ide dan gagasan menyangkut politik, demokrasi dan Islam secara bersamaan, dan selanjutnya pusaran yang mengartikulasikan energi gerak dialogis antar-tradisi yang ada.
Dalam muara pertemuan ide, gagasan dan pemikiran berbagai tradisi ini, Post-Tradisionalisme meretas jalan bagi definisi epistemologisnya. Konstruksi epistemologis Post-Tradisionalisme dengan demikian dirajut dari jalinan rasio komunikasi Habermas yang memfasilitasi transasksi ide, gagasan, dan nilai antar tradisi dalam spirit pencarian keluar dari rasio aufklarung Cartesian yang instrumentalis, bipolar, berbangun center-periferi, reduksionis dan tidak memberikan apresiasi yang memadai kepada tradisi dan lokalitas. Bangun pusat-pinggir yang masih diwarisi oleh epistemologi Habermas yang modernbias selanjutnya harus dipugar dengan pisau analisa kultural Gramscian yang menghendaki terjadinya persebaran pusat-pusat definisi kebudayaan. Persebaran pusat-pusat produksi makna dalam berbagai tradisi Islam yang bersetting dominasi dan hegemoni pada kelanjutannya harus diklarifikasi dengan kerangka epistemologi yang disumbangkan oleh pemikir-pemikir Muslim seperti Abu Zayd, Abed al-Jabiri, Mohammad Arkoun, Bassam Tibi yang terlebih dahulu memberikan konribusi teoritiknya dengan memanfaatkan piranti analisis Nieztsche, Foucoult, Levi Strauss, dan pemikir lainnya. Konstruk kritik wacana agama yang akrab dengan genalogi tradisi, dekonstruksi dan rekonstruksi post-hegelian dengan begitu menyediakan piranti analisis yang memadai untuk memugar, mengklarifikasi, dan mendudukkan berbagai ketegangan epistemologis yang tersimpan dalam memori masing-masing tradisi untuk kemudian mendudukkannya di meja negosiasi kultural yang lebih berimbang disemangati rasio komunikatif Habermas.
Retasan dialog berbagai tradisi dari ragam ranah peradaban tersebut diperlukan untuk mencari jalan pemecahan atas kebekuan yang menyelimuti konstruksi pemikiran umat Islam dan secara bersamaan memberikan jawaban terhadap berbagai patologi yang dikandung oleh modernitas Barat yang terlalu alergi untuk menggelar dialog terbuka antar-tradisi. Dalam skema seperti ini sumbangan Hassan Hanafi, Edward Said, serta Ali Asghar Enginer dari posisi setting konseptualnya masing-masing patut juga untuk diberi apresiasi secara proporsional.
Banyaknya kebutuhan yang harus ditambalkan dalam kekurangan piranti akademis itulah yang menjadi concern dari Post-Tradisionalisme Islam. Sebuah subversi yang memang tidak pernah dikenal dalam tradisi akademik kita. Subversi yang diprovokasikan untuk meretas pemahaman demi menghindari misreading, salah alamat, salah paham, dan apalagi “paham yang salah.” Wallahu A’lam.
Bahan Bacaan
Atho’, Nafisul & Arif Fahrudin., Hermeneutika Transendental; dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Yogjakarta : Ircisod, Cet. I, 2003.
Budi hardiman, Francisco., Kritik Ideologi; Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Yogjakarta : Pustaka Kanisius, 1990.
Hidayat, Komaruddin., Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta : Paramadina, 1996.
Kleden, Ignas., Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta : LP3ES, Cet. I, 1987
Masdar, Umaruddin., Agama Kolonial; Colonial Mindset dalam Pemikiran Islam Liberal, Yogjakarta : KLIK.R, Cet. I, 2003.
Nordholt, N. Schulte & Leontine Visser (ed.), Ilmu Sosial di Asia Tenggara; dari partikularisme ke universalisme, Jakarta : LP3ES, Cet. I, 1997.
Pals, Daniel L., Dekonstruksi Kebenaran; Kritik Tujuh Teori Agama (terj. Inyiak Ridwan Munir), Yogjakarta : Ircisod, 2001.
Simai, Mihaly., The Democratic Process and The Market; Challenges of the Transition, Tokyo : United Nation Universuty Press, 1999.
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta : Gramedia, 1998.
[1] Rasionalitas teknologis diperkenalkan oleh Jurgen Habermas untuk menunjuk hal-hal yang pada mulanya tidak “rasional” dan diterima publik tetapi karena dikampanyekan secara terus menerus dengan fasilitasi media dan teknologi, ia bermetamorfosa menjadi sesuatu yang rasional dan dibutuhkan.
0 Comments