Tiga even pemilihan dalam rangkaian pemilu 2004 telah dilewati oleh masyarakat Indonesia dengan kondisi yang relatif tanpa gejolak berarti. Dan kini babak terakhir dari rangkaian tersebut juga telah mulai memperlihatkan hasilnya. Dari perhitungan sementara, hampir bisa dipastikan bahwa pasangan SBY-Kalla berhasil mengungguli perolehan duet Mega-Hasyim. SBY-Kalla memenangi dukungan di 30 Propinsi, sedangkan Mega Hasyim hanya memimpin di 2 Propinsi.
Perolehan tersebut memberikan pesan jelas tentang patahnya logika representasi politik Islam di Indonesia. Fakta ini penting untuk dicermati terutama jika dikaitkan dengan masih gencarnya sementara kelompok Islam mengkampanyekan perlunya representasi politik umat Islam satu dekade terakhir. Baik melalui perdebatan di tingkat parlemen, kampanye publik oleh organisasi seperti Hizbut Tahrir dan sejenisnya, ataupun penetapan Perda-perda bernafaskan Islam semisal di Cianjur, Tasikmalaya, Padang ataupun daerah-daerah lain.
Setidaknya ada beberapa indikasi bagi premis demikian. Pertama, perolehan partai-partai Islam pada Pemilu Legislatif. Kedua, perolehan calon-calon presiden yang dikenal luas sebagai pemimpin muslim pada pilpres putaran pertama. Dan ketiga, perolehan duet Mega-Hasyim yang tak mampu mengungguli perolehan duet “dua mantan Menko” SBY-MJK pada Pilpres putaran kedua.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk menghakimi nasib satu gerakan keagamaan tertentu di hadapan gerakan sosial lainnya. Demi menghindari itu, tulisan ini lebih mengungkapkan beberapa segi dari kenyataan politik Indonesia yang seharusnya menjadi bahan refleksi diri bagi kalangan keagamaan, baik itu parpol ataupun organisasi keagamaan, dalam mengartikulasikan mandat sosialnya. Ini penting untuk dilakukan terutama jika mengingat rentang panjang perdebatan tentang perlu tidaknya formalisasi Syariat Islam sebagai dasar negara yang tidak sama sekali memperlihatkan grafik naiknya hingga saat ini.
***
Representasi Politik Islam
Paradigma representasi politik Islam pada masa lalu marak dikampanyekan oleh kelompok-kelompok keagamaan yang meyakini bahwa jalan perbaikan terhadap dekadensi kehidupan di Indonesia hanya mungkin dijawab ketika umat Islam bersatu menyalurkan aspirasinya melalui satu kelompok kepentingan. Yakni kelompok yang berjuang untuk “izzul islam wa al muslimin.”
Pada dekade 80 dan 90an paradigma demikian diagregasikan secara massif oleh para pendukungnya baik di kampus, di masyarakat, ataupun di kalangan profesional. Gerakan ini mendapatkan momentum terbaiknya ketika ABRI sebagai salah satu sokoguru kekuatan politik Soeharto mendapat tekanan yang hebat dari dalam dan luar negeri akibat serangkaian aktivitasnya yang diindikasikan melanggar HAM. Dan Habibie sebagai simbol teknokrat muslim mampu mengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh ABRI. Posisi Habibie di depan Soeharto inilah yang kemudian dilegitimasi oleh para cendekiawan muslim kampus dan teknokrat muslim yang kemudian bergabung ke dalam ICMI pada akhir 1990.
Era ketika itu adalah era di mana segenap artikulasi gerakan umat Islam konta-ICMI mendapatkan restriksi yang hebat. Kita tentu belum lupa bagaimana tekanan yang diterima oleh Gus Dur dan kawan-kawannya saat dengan sangat verbal tidak menyetujui berdirinya ICMI dan malah mempelopori Forum Demokrasi.
Dalam kaitan dengan indikasi pertama di atas, nampak sekali bahwa ideologi keagamaan tidak lagi menjadi determinan kunci dalam menentukan preferensi pemilih. Ini terlihat dari perolehan partai-partai Islam yang jauh tertinggal dari perolehan partai-partai yang lebih terbuka pada Pemilu Legislatif April lalu.
Gejala demikian sepertinya juga merembet pada Pilpres putaran pertama yang kurang lebih menunjukkan hal serupa. Pasangan Hamzah-Agum, misalnya, adalah pasangan yang secara resmi didukung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebuah partai masa lalu yang mengidentifikasi secara jelas sebagai partai Islam dan memperjuangkan syariat Islam. Sementara pasangan Amin-Siswono yang dijagokan oleh PAN adalah satu-satunya pasangan yang secara resmi didukung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, organisasi muslim terbesar kedua.
Kasus demikian sebenarnya juga bisa kita perlebar cakupanya, mengingat pasangan Wiranto-Wahid adalah juga pasangan yang kurang lebih sama. Salahuddin Wahid dikenal publik sebagai adik kandung Gus Dur, ketua Dewan Syuro PKB dan juga mantan Ketua Umum PBNU tiga Periode (1984 – 1999). Tak beda dari itu, pasangan yang diusung oleh PDI-P menyandingkan kebesaran Megawati yang Ketua Umum PDI-P, partai pemenang pemilu 99, dan juga kebesaran KH. Hasyim Muzadi sebagai Ketua Umum PBNU.
Empat pasangan tersebut dengan demikian adalah pasangan yang secara jelas diidentifikasi sebagai pasangan yang memiliki hubungan kuat dengan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. Sehingga praktis hanya pasangan SBY-Kalla yang tidak tampil (dan menampilkan diri) sebagai simbol pemimpin Islam.
****
Logika Representasi yang Patah
Fenomena tersebut dengan sangat jelas memberikan gambaran kepada kita bahwa, saat ini, afinitas keislaman bukan lagi determinan kunci dalam menentukan preferensi dukungan. Ini menandakan bahwa hubungan pemimpin agama dan umatnya telah mengalami pergeseran yang cukup serius. Dua kemungkinan bisa kita baca dari sini; pertama, arus sekularisasi politik yang selama ini berlangusng telah ditangkap oleh publik dengan sangat baik. Bahwa dalam hal berpolitik seseorang tidak harus mengkonsultasikannya kepada pemimpin-pemimpin spiritual mereka. Karena politik adalah persoalan sehari-hari yang profan dan tidak berkaitan dengan kehidupan keagamaan mereka.
Kedua, publik menyadari bahwa para pemimpin agama mereka dewasa ini bukanlah tempat yang baik untuk menyampaikan keluhan menyangkut kehidupan sosial mereka. Ini terutama terlihat dari materi-materi khotbah dan ceramah keasgamaan yang belakangan disampaikan jarang sekali menyentuh sisi-sisi riil kehidupan masyarakat. Masyarakat muslim menyaksikan para dai dan pemimpin agama mereka di TV, koran ataupun ceramah-ceramah umum membicarakan tentang dekadensi moral dan pentingnya agama bagi kehidupan. Sementara sehari-hari mereka menghadapi kenyataan bahwa biaya sekolah anak mahal, mencari pekerjaan sulit.
Publik tidak merindukan pemimpin agama yang fasih berkoar-koar soal moralitas di televisi, namun ulama, dai, ustadz yang datang saat mereka menghadapi penggusuran. Kyai yang menjenguk saat mereka ditimpa kesulitan hidup. Khotbah tentang moralitas, pentingnya budi pekerti bisa jadi tetap mereka perlukan, namun masdyarakat jelas mebutuhkan sapaan yang lebih manusiawi dan bukanya khotbah dan ceramah berkepanjangan soal moralitas.
Dari sini jelas bahwa yang dibutuhkan oleh masyarakat muslim bukanlah kyai yang fasih mengumbar dalil dan mau’idhoh khasanah. Pemimpin Islam yang mengkampanyekan perlunya formalisasi syariat Islam. Para pemimpin yang menyatakan tentang pentingnya reperesentasi politik umat Islam. Sebaliknya, publik sedang merindukan sosok pemimpin yang tak banyak bicara namun memiliki kedalaman empati yang dirasa cukup terhadap pelbagai beban hidup yang menghimpit mereka.
Tidak jelas memang, seberapa ukuran empati ini dipahami oleh publik, namun itulah realitas pemilih kita. Entitas politik terpenting yang memiliki caranya sendiri untuk menilai, mengevaluasi, dan selanjutnya menjatuhkan vonis baik-buruk, layak-tak layak kepada para pemimpinnya.
Dalam konstanta demikian rasanya tak penting dari kalangan mana pemimpin barasal, termasuk dari ikatan primordial agama yang mana. Publik hanya berurusan dengan bagaimana sang pemimpin mengartikulasikan segenap empati, keprihatinan, dan loyalitas mereka pada pemberi mandat kekuasaannya, yakni publik itu sendiri. Di titik inilah sepertinya rasionalitas dan sekularisasi politik sedang dimulai. Pelan memang, tapi sepertinya pasti akan berlanjut. Demikian kiranya waktu berjalan mengiringi lingkaran perubahan.
1 Comments
Publik tidak merindukan pemimpin agama yang fasih berkoar-koar soal moralitas di televisi, namun ulama, dai, ustadz mungkin butuh dukun yang jitu kali ya... he he he biar tanpa koar-koar tapi langsung bisa menebak arah masa depan bangsa
ReplyDelete