Latar Belakang
Kungas kasudranira
Tidem tandaning dumadi
Ardayeng rat dening karoban rubeda
[menanglah kerendahan,
gelap menandai semesta,
dunia terbanjiri kesulitan tiada henti]
Bait syair itulah yang diucapkan Ronggowarsito menjelang akhir hayatnya. Sebuah keprihatinan yang mewartakan awal kegelapan yang segera akan dijemput oleh Yawabhumi dan Nusantara setelah keruntuhan Majapahit. Fase tersebut segera menandai berakhirnya suzereinitas bangsa pribumi di tanah Nusantara dan kabar kedatangan penguasa baru dari seberang, yakni bangsa Barat. Era ini juga sekaligus menjadi mata rantai lanjutan kedatangan bangsa-bangsa asing yang memulai aktifitas dagangnya di Nusantara sekitar tahun 1596 dan kemudian dimapankan dengan berdirinya VOC pada tahun 1602.
Memilukan memang, jika Nusantara yang sejak lama mengabarkan kepada dunia sebagai kawasan kerajaan-kerajaan maritime besar yang menaungi kawasan-kawasan subur di pedalaman kemudian luluh lantak dan tak lagi mampu mengontrol dirinya. Runtuhlah narasi kebesaran dan panji-panji sacral yang direntangkan ke seantero jagat sebelumnya. Duet Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada tak tergantikan perannya untuk mengontrol kebesaran nusantara. Manusia-manusia super yang bermunculanpun tak segera mampu mengisi kekosongan kepemimpinan tersebut, dan bahkan Matarampun tak mampu menjadi sentrum baru yang menggantikan fungsi Majapahit.
Kondisi demikian berlanjut hingga paruh kedua abad ke –19 meski di sepanjang waktu antara abad ke-16 sampai dengan decade akhir abad ke-19 tersebut berbagai perlawanan dan pemberontakan terus dikibarkan di berbagai daerah. Baru pada akhir abad ke-19 perubahan yang berarti dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda terjadi. Dan anehnya, itupun muncul sebagai dampak dari perubahan mendasar yang terjadi di kalangan bangsa-bangsa Eropa. Yakni era kebangkitan negara-bangsa [nation-state].
Parafrase ini ingin menggarisbawahi perjalinan yang erat antara berbagai peristiwa di lingkungan masyarakat Hindia Belanda dengan berbagai perubahan yang terjadi di kawasan Eropa. Ini penting untuk membantu kita mencari definisi nuchter dari keindonesiaan kita. Fase-fase awal inilah yang sebenarnya menjadi fundamen dasar dari pembentukan negara-bangsa kepulauan dengan segala karakter dan kebudayaan yang kini menyemangati gerak kebangsaan yang terseok-seok di bawah awan gelap sebagaimana dikabarkan Serat Kala Tida Ronggowarsito. Zaman inilah yang melahirkan kebudayaan setengah merdeka sebagaimana kini diampu oleh manusia setengah merdeka.
Tonggak ini bisa jadi terlampaui sulit untuk dikenali kembali. Berbagai catatan peristiwa dan kejadian sepertinya terlalu minim untuk mendukung satu upaya menghadirkan fase ini secara lebih komprehensif. Namun begitu, impact yang muncul mengiringi fase ini rasanya begitu mudah kita hayati, rasakan dan indrai. Meskipun pada sisi yang paling sederhana tentunya.
Sebagaimana kita bisa tahu dan rasakan, kebesaran niaga laut nusantara sebagaimana pernah dicapai oleh Sriwijaya dan kemudian Majapahit kini layaknya dongeng pengantar tidur semata. Ia tidak hadir sebagai pengalaman yang bisa dihayati oleh segenap warga bangsa yang lahir pasca 1800an. Cerita kebesaran dan narasi kedigdayaan nusantara memang seperti tertelan bumi bersama cakra sirna ilang kertaning bumi, yang menandai keruntuhan Majapahit.
Sejarah memang tidak berjalan secara linear, kadang cyclical ataupun memutar layaknya dalam lingkaran hukum alam yang memang telah dibakukan. Sebab tindak bersama mencapai kemajuan sebagaimana pernah direngkuh baik oleh Sriwijaya ataupun Majapahit tentu dilakukan dengan tetap menghormati sabda alam tersebut. Dan itu berarti bahwa segenap upaya bangkit dari keterpurukan tentu harus diawali dengan upaya meninjau kembali keserasian langkah kita dengan hukum alam tersebut.
Apa yang ingin digambarkan dari paragraf diatas sebenarnya sebuah perbandingan paradigma pengelolaan segenap kekayaan yang melekat pada badan wadag nusantara dengan mempertimbangkan aspek natural dan kondisi sosio-dmografisnya. Sriwijaya ataupun Majapahit besar dengan memanfaatkan potensi kelautan yang ada, sementara fase sesudahnya sangat jelas meninggalkan tradisi ini. Sultan Agung Hanyokrowati memang berhasil mengembalikan sebagian kejayaan yang pernah benar-benar hilang bersama runtuhnya Majapahit. Tapi sepertinya Wong Agung Mataram ini melupakan chemistry kelautan yang pernah menjadi pegangan baik Gajahmada ataupun Laksamana laut Sriwijaya. Darah kelautan yang gagah berani tidak lagi mendapat posisi strategis dalam konseptualisasi pengelolaan wilayah nusantara. Sebaliknya paradigma baru lebih memihak pada budaya agraris- pedalaman yang begitu tertutup, aristokratik, patriarkhal dan tentu patrimonial. Egalitarianisme yang dulu dijunjung tinggi oleh tradisi niaga laut seakan harus tunduk pada aristokrasi-agararis gaya pedalaman yang tertutup.
Frasa diatas tentu harus dibaca dalam konteks perbandingan antara dua tradisi kebudayaan besar yang mendominasi nusantara ketika itu, yakni tradisi perniagaan yang digerakan olah denyut perdagangan laut, dengan tradisi pertanian yang dibangun diatas fondasi kesatuan demografis yang homogen dan tertutup. Kita memang tidak sedang menghakimi kesalahan para pelaku dan pendiri sejarah nusantara. Kita jelas tidak ingin mengundang Wong Agung Mataram untuk mempertanggungjawabkan andilnya dalam ikut menghabisi tradisi niaga laut. Sebab tentu Sultan Agung memiliki argumen dan pembacaan tersendiri terhadap konstelasi dan persinggungan pelbagai kekuatan di Nusantara ketika itu. Seperangkat alasan khusus yang tentu hanya memiliki pembenarannya di zaman itu.
Karya ini memang tidak dibuat untuk menghakimi para leluhur Nusantara, kalaupun ada beberapa perbandingan antara satu fase dengan lainnya, penulis lebih memilih untuk mengambarkan sisi-sisi khusus yang mengiringi masing-masing fase. Meskipun bisa jadi setelah itu kita harus membandingkannya. Hukum besi perbandingan bisa jadi memang terasa amat kasar dan menghakimi fase-fase tertentu. Tapi mungkin dari situ kita bisa memetik hikmah dan pelajaran dari masing-masing babakan historis. Ini penting untuk ditekankan dalam konteks mempelajari sejarah secara kritis. Agar sejarah tak semata arsip tua di pojokan waktu.
Membaca Sejarah Indonesia
Kalaulah saja krisis tak menghampiri Indonesia paruh pertama dan kedua 90an mungkin tradisi kritis dalam membaca sejarah tak akan berkembang sebagaimana saat ini. Sejarah bisa saja akan tetap hadir dalam mata pelajaran anak-anak sekolah dasar hingga tingkat menengah atas, tapi dengan format yang seragam. Karena sejarah telah mengalami kodifikasi, administrasi, dan selanjutnya pembakuan oleh penguasa Orde Baru. sejarah diajarkan di sekolah-sekolah dasar untuk menanamkan kepatuhan dan bukannya apresiasi terhadap segenap hasil para pendahulu bangsa ini. Karena sejarah bukan persoalan siapa lebih baik ataupun siapa lebih buruk dari periode dan fase manapun.
Baik buruk, lebih lanjut, merupakan persoalan penggalian hukum-hukum moral yang subur dalam wacana keagamaan. Sementara sejarah, di ladangnya sendiri, akan teramat naif jika dijustifikasi dengan penilaian antagonis dan protagonis. Sebab sejarah memiliki spektrum yang maha luas dan tak mungkin direduksi semata pada dua hal, baik ataupun buruk. Melampaui semua itu sejarah dihadirkan secara kritis agar kita bisa mengambil pelajaran bagi langkah kita di masa kini dan meerencanakan masa depan. Pertimbangan-pertimbangan yang disediakan oleh sejarah tentu merupakan pelajaran yang teramat berharga dan mahal untuk disimpan secara beku dalam museum ataupun gedung-gedung arsip. Ia harus hidup dan berbicara kepada masa kini. Ia pun harus menghadirkan diri sebagai pelajaran bagi siapapun.
Menyadari pentingnya mengkaji kembali sejarah babakan historis Indonesia pada titik tertentu juga bersangkutan dengan kepentingan mengetahui kesinambungan tradisi sebuah satuan besar masyarakat dengan segala variasi nilai dan perilakunya. Hanya saja memang dalam konteks kemajemukan Indonesia tentu teramat sulit untuk memulainya. Aspek-aspek mana saja dalam sejarah dan kebudayaan Indonesia yang bersifat formatif dan figuratif bagi nation-state kita saat ini, bisa jadi adalah pertanyaan yang teramat sangat susah untuk dijawab.
Dengan tanpa maksud berapriori kepada siapapun, zaman apapun, dan tradisi apapun, karya ini secara umum diorientasikan untuk mengkaji struktur terdalam dari pembentukan mentalitas bangsa Indonesia. Dalam terang orientasi demikian fase-fase yang paling mudah kita identifikasi sekiranya adalah :
1. Fase kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara
2. Fase kedatangan bangsa-bangsa asing
Dua elemen dasar tersebut penting untuk diperhatikan karena masing-masing fase mengintroduksi cara hidup, ilmu pengetahuan, dan bahkan model pemerintahan. Dalam fase-fase itu pula epistemologi kebudayaan dan tradisi politik bangsa ini tumbuh dan berkembang bersama waktu. Dan sejarah memang tidak selalu melompat, tapi kadang merangkak. Ia tak selalu linear, karena tak jarang siklikal.
Tapi mengatasi perjalanan sejarah itu setiap fase dipastikan mengguratkan pengalam tersendiri terhadap
Sebut saja abdi dalem ataupun kawulo dalam babakan kerajaan-kerajaan di nusantara. Atau jika tidak sebut saja marsose di zaman penjajahan Belanda.
To be Continued.......................
Sriwijaya dan Narasi Besar Para Syahbandar
Majapahit dan Impian Besar Gajahmada
Mataram dan Aborsi Nalar Kepulauan
0 Comments