Layakkah seorang menteri merokok di depan publik?
Layakkan seorang yang tidak memiliki ijazah SMA menjadi Menteri di Republik yang sangat "mengagungkan" tata-krama akademik ini?
Layakkah seorang perempuan bertato yang "gagal" membina rumah trangga memimpin kementerian yang selama ini menjadi domain laki-laki?
Sobat, prihatin kiranya mendengar riuh rendah orang berkomentar tentang Ibu Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru. Orang yang sangat kontroversial.
Bagaimana tidak, kedapatan sedang merokok di istana pasca "audisi" calon-calon pembantu Presiden Joko Widodo, sosok perempuan ini seakan memenuhi ruang kognisi kita hari-hari ini. Berita TV, Media Online, seakan tak henti menyuguhkan kontroversi tentang Pendiri dan CEO Susi Air tersebut.
Lebih sadis lagi, sehari setelahPelantikan Kabinet juga beredar luas foto dengan tato di kaki Ibu Susi. Sayangnya, tak banyak yang tahu tentang sosok menteri kontroversial yang tak pernah selesaikan pendidikan SMAnya ini. Karakternya yang tegas, mandiri, fast-learner, dan apa adanya belum banyak yang tahu.
Mungkin tulisan Mbak Uni Lubis di bawah ini akan membuka cakrawala pandang kita tentang beliau. Sebuah kesaksian yang saya yakini jujur dari seseorang yang secara langsung mengenal lebih dalam Kontroversi Ibu Susi Pudjiastuti.
Tulisan tersebut bagi saya secara pribadi adalah sebuah ajakan belajar mendalami sebuah terra-incognita yang begitu asing bagi sebagian orang. Dan lazimnya sebuah perjalanan menjelajahi daerah baru, tak jarang ia perih dan menyakitkan.
Ajakan Belajar Yang "Menyakitkan"
Ajakan belajar ini tentu begitu menantang. Itulah kira-kira yang terlintas dalam pikiran saya ketika seorang sahabat mengirimkan link tulisannya. Berbeda dari Uni Lubis, teman saya ini jelas-jelas Mengajak Belajar Dari Ibu Susi.
Bagaimana tidak, ia mengajak saya mengenal seorang tokoh yang beberapa hari ke belakang menjadi buah bibir dengan sangat luas. Dan sialnya pembicaraan tersebut lebih banyak didominasi komentar bernada sumir dibanding yang positif.
Ya, inilah ajakan untuk mengenal seseorang yang secara kasat mata "menabrak" batas-batas ukuran kita tentang kesopanan, pendidikan, ataupun kepantasan dan etika secara lebih luas. Tentu saat barang ini diajukan umumnya orang akan defense untuk beberapa saat. Tak ingin terseret ke pusaran energi yang "menabrak" ukuran-ukuran umum.
Ya, bagaimana tidak, hari-hari ini kita ditampar oleh Tatto Ibu Susi, kebiasaannya merokok, cuek, dan segudang kontroversi lainnya. Sebagaimana luas diketahui, tatto adalah "barang" yang bagi sebagian kalangan menjadi ciri "kenakalan." Setidaknya itulah yang saya terima saat saya kecil. Bahwa bertato adalah ciri anak nakal, orang nggak bener, dan selaksa cap minor lainnya.
Pun begitu saat publik kita membicarakan rokok. Industri ini konon, menurut seorang pakar, turut menyumbang penerimaan negara per tahun 2011 mencapai Rp. 62,76 triliun. Beberapa daerah juga sangat menggantungkan hidup masyarakatnya pada industri rokok. Daerah-daerah seperti Kediri, Malang, Kudus dan berbagai kota lainnya, ekonominya sangat ditentukan oleh rokok. Kudus, misalnya, menyumbang Rp. 15,1 triliun dari total pendapatan cukai Rp. 60 triliun.
Selain soal pendapatan, industri rokok juga berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja dengan cukup signifikan. Setidaknya secara nasional ia menyerap 24,4 juta orang. Dengan rincian setidaknya 1,25 juta orang bekerja di ladang-ladang tembakau, 1,5 juta bekerja di ladang cengkeh dan sekurang-kurangnya 10 juta orang terlibat langsung dalam industri rokok.
Tapi bagaimana masyarakat kita melihat rokok? Bukan rahasia lagi tentunya. Pun juga bagaimana kian hari kian tajam tekanan bagi mereka-mereka yang merokok ini. Termasuk saat media mengedarkan profil seorang menteri, yang kebetulan tak sempat menyelesaikan pendidikan SMA, dengan sebatang rokok menyala di tangannya. Plus tato seksi di kakinya.
Saya tentu tidak sedang mengkampanyekan merokok melalui tulisan reflektif ini, pun juga saya tidak dalam posisi untuk mengatakan bahwa sekolah itu tidak penting.
Rokok dalam kacamata ekonomi memiliki posisinya sendiri, termasuk sumbangsihnya yang tidak kecil. Tapi bagaimana kita memperlakukannya selama ini?
Sekolah tentu amat sangat penting bagi sebuah bangsa. Sebab memang senyatanya pendidikan merupakan investasi terpenting jika sebuah negara ingin memiliki daya saing yang tinggi di hadapan negara yang lain. Tapi sudahkah kita menempatkan persoalan pendidikan ini pada porsinya yang betul-betul tepat? Sudah pulakan kita menempatkan mereka-mereka yang karena satu dan lain tak bisa menyelesaikan pendidikannya dengan tertib?
Mengapa ini penting untuk kita pertanyakan? Sebab senyatanya tinggi-rendah tingkat pendidikan sesorang setahu saya memang tidak selalu berbanding lurus dengan peruntungannya dalam hal ekonomi. Kita mengetahuinya dari kenyataan jumlah pengusaha yang tak pernah sekolah dengan tertib hingga ke jenjang tertentu. Dan itu artinya tidak begitu fair jika kita menghakimi seseorang dari sisi pendidikannya semata.
Pada posisi demikian itulah tulisan ini saya buat. Dari kerisauan yang begitu dalam tentang makna pendidikan yang belakangan menjadi seringkali semata "dagangan" di republik ini. Sudah begitu lama jari-jari saya tak secara khusus menyentuh kotak-kotak huruf keyboard komputer untuk menulis semacam ini. Pun sudah sangat lama saya tak lagi menyentuh blog ini. Bahkan di Hari Blogger Nasional tanggal 27 Oktober 2014 yang lalu. Padahal ngakunya Blogger...he he
Sebetulnya, akan bijak jika kita tidak meletakkan soal-soal pendidikan, rokok, tato, atau apapun yang tidak secara langsung berkait dengan kinerja dan produktivitas sesorang menjadi palu yang mematikan. Toh kitapun bukan Tuhan yang memiliki kuasa penuh untuk menghakimi kehidupan sesorang. Bukankah meletakkan hal-hal tersebut sama saja dengan mengatakan suku A lebih bodoh atau lebih pintar dari suku B, ataupun pemeluk agama X lebih baik ketimbang pemeluk agama Y. Sebuah kesalahan yang pasti akan berujung pada kebiasaan salah baca akut yang menghinggapi kebanyakan masyarakat kita.
Akhirnya, hari ini saya menyadari bahwa kita telah ditampar oleh tato Ibu Susi. Kitapun telah ditonjok sekeras-kerasnya oleh gaya eksentrik seseorang yang memiliki cerita dan jalan hidupnya sendiri. Saya menangkap banyak sekali pesan moral dari kasus Ibu Susi ini, dan saya berharap bisa melanjutkan menuliskan pesan moral tersebut di lain waktu.
Terima Kasih, Kerja, Kerja, Kerja!
0 Comments