Recents in Beach

header ads

Gandrung Banyuwangi Menggoyang "Bule" Amerika

KOMPAS, Rabu, 25 Juni 2003

KONSER musik tradisi bertajuk Banyu Mili (Air Mengalir-Red) persembahan grup Labas Wisata (yang berarti perjalanan wisata) dari Banyuwangi menggoda emosi penonton perhelatan pesta musik berlabel Surabaya Full Music. Pergelaran ini berlangsung hari Senin (23/6) malam di Pendopo Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya.

WALAUPUN komunitas asal tanah Osing mendapat giliran paling penghujung pada malam perdana pesta musik yang digeber oleh lembaga seni budaya Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) sebagian penonton tak menyurutkan niatnya untuk meninggalkan arena gelaran musik tersebut.

Tak kurang lima repertoar garapan Sauni dan kawan-kawan dari komunitas Labas Wisata, sebuah kelompok musik tradisi asal Blambangan ini menyapa publiknya dengan sentuhan musik etnis khas Banyuwangi dengan kekuatan rampak kendang, rebana serta gamelannya.

Setelah konser musik tradisi Banyu Mili rampung menyajikan lima repertoarnya, penonton dikejutkan dengan munculnya seorang penari gandrung cantik, Sumawati. Dan, suasana panggung pun kembali bergetar menyaksikan gerakan tari gandrung yang mempesona itu.

Kehadiran penari gandrung itu pun merangsang para pengibing untuk ikutan menari-nari gandrung bersama dengan sang penarinya. Di antara para pengibing itu adalah Kathy Foley dari Universitas California, Amerika Serikat, tergoda untuk ikutan ngibing di panggung.

Lalu, suasana pun menjadi gayeng (menyenangkan) penuh gelora. "Saya baru sekali ini lihat tari itu dan saya suka sekali," kata Foley.

Foley mengaku baru sebulan berada di Indonesia dan keberadaannya sekarang ini termasuk di Surabaya, berkaitan dengan penelitian tentang topeng Malang dan topeng Madura. "Saya ingin menggelar pameran topeng di AS," tuturnya.

SEBELUM menghadirkan serangkaian komposisi dengan ritmenya yang penuh dinamika itu komunitas pimpinan Sauni dan Nasuhi memberikan suguhan tari Jaran Goyang yang disajikan oleh dua pasang penari, Wati dan Wanai.

Perpaduan gerak yang terstruktur pada pola irama gending-gending khas tanah Osing, menjadikan tarian Jaran Goyang terasa gayeng untuk dinikmati. Dan, kedua pasangan penari lelaki-perempuan itu, mampu memberikan satu suguhan amat memikat.

Tarian yang mereka pertunjukan kerap kali membuat penonton terkesima, terlebih tatkala sepasang penari itu sedang bercengkrama dan berkasih mesra, setelah sang penari laki-laki menyiratkan kembang ke wajah sang penari perempuan cantik itu. Padahal, sebelumnya sang penari perempuan tak menghiraukan pelbagai godaan dan rayuan sang penari laki-laki.

Namun, tatkala bunga-bunga bertaburan mengenai wajah sang penari perempuan, justru berbalik sang penari perempuan menguber-uber sang penari laki-laki dengan gerakan-gerakan lemah-gemulai nan menggoda.

Dan, fragmentasi itu barangkali merupakan simbolisasi dari kekuatan magis (pelet-Red) yang sering dipergunakan sebagian kaum lelaki untuk memikat seorang gadis.

Goyangan aduhai sang penari perempuan dengan ditingkahi gerakan merajuk-mendayu sang penari laki-laki, membuat penonton tak tahan untuk melontarkan ledekan-ledekan bernada romantisme. Dan, tarian Jaran Goyang persembahan wong Osing ini pun, sekurangnya memberikan satu tontonan yang menghibur sekaligus mengendurkan urat saraf penonton.

Seusai persembahan tari Jaran Goyang, yang aduhai itu, komunitas Labas Wisata meluncurkan repertoar-repertoar musik tradisi tanpa jedah. Dan, lima komposisi yang menyentakkan emosi penonton itu, terangkai ke dalam beragam irama gamelan, termasuk irama gamelan Bali yang teramat ritmis-dinamik.

Repertoar bertitel Gending-gending Musik Angklung, Musik Damar Wulan, ataupun Musik Non Nada, mampu membangkitkan suasana pertunjukan seolah-olah hendak membawa penikmat musik tradisi khas tanah Osing ini memasuki wilayah-wilayah etnis Banyuwangi. Apalagi, tatkala sinden Supinah bersenandung dengan tembang-tembang tanah Osing.

Komposisi Musik Rebana dan Musik Patrol yang mereka hadirkan untuk memuaskan publiknya, seakan-akan mengingatkan pada kekuatan musik kuntulan maupun patrol itu sendiri. Harmonisasi entakan rebana pada tataran dinamika, ataupun patrol (musik bambu-Red) pada tataran nada maupun tempo tinggi, sedang dan rendah, menyadarkan penikmat konser musik tradisi garapan Sauni dan kawan-kawan ini pada ruang eksplorasi.

Ini berarti pula hasil eksplorasi gamelan jangger (Bali), gamelan (Banyuwangi), angklung, patrol, rebana, biola dan suling, sekurangnya mampu memuaskan penontonnya, walaupun tidak dalam jumlah besar.

PERGELARAN pesta musik ini sempat tertunda sekitar 45 menit, karena pihak panitia penyelenggara Surabaya Full Music (SFM) harus menunggu kehadiran Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur, Rasiyo. Sesuai agenda, seharusnya acara dibuka tepat pukul 19.00.

Setelah Rasiyo (bukan Wali Kota Bambang Dwi Hartono yang membuka SFM seperti yang direncanakan) membuka secara resmi SFM III, rangkaian pertunjukan musik pun dipergelarkan kepada publik.

Ikut menyemarakkan pesta musik, Paduan Suara Masyarakat Jepang di Surabaya, angklung ibu-ibu Buddha Dharma Surabaya, Konser Gamelan Indonesia (SMKI/STKW) Surabaya, Komunitas Shalawatan Ponorogo, Musik Jalanan Surabaya, dan Parade Band, Konser Musik Gesek Remaja Surabaya, serta Konser Musik Tradisi Banyu Mili, Banyuwangi.

Persembahan tari gandrung Banyuwangi, sebagai pemuncak pertunjukan hari pertama pesta musik ini nyaris batal, karena molornya acara seremonial pembukaan. "Ndak jadi, karena waktunya sudah larut malam. Dan, saya harus disiplin waktu, apalagi penontonnya sudah banyak yang pulang," kata Sauni. (TIF)



Post a Comment

2 Comments

  1. uweeee....postingannya panjang amat..karena panjangnya aku jadi males bacanya pas udah di tengah jalan..hehehe..ini cocoknya dijadikan 2 jilid aja.............

    ReplyDelete
  2. wah panjang juga neh
    hihihiii
    baca pelan2 dulu neh, tar comment lg

    ReplyDelete