tulisan ini dikutip dari majalah SRINTHIL 3 versi ringkasan online. saya sengaja "menempelnya" disini untuk melengkapi "ungkapan keprihatinan dan solidaritas" atas apa yang dialami oleh Mbok Temu sebagaimana dilansir oleh KOMPAS tanggal 26 Oktober 2007, yang juga telah saya tempel sebelum ini.
keprihatinan ini bukan semata karena saya terlahir di Banyuwangi, tapi lebih karena tindak eksploitasi tidak bisa dibenarkan dengan dalih apapun.
--admin--
Ini memang sebuah pertunjukan! Gandrung dihadirkan sebagai maskot Banyuwangi menggantikan patung Ular berkepala Gatotkaca. Kesenian gandrung yang diidentifikasi sebagai seni yang seronok, ?tak layak? dari sudut Islam, bahkan dicitrakan sebagai ?ajang perempuan dan arak? dengan tiba-tiba membalik sebuah realita, sarat misteri, dan tanpa terselubung. Ia hadir dengan diri yang sebenarnya, simbol kekuatan dan kekuasaan. Kini, gandrung sedang berada dalam lingkaran politik identitas, sebuah identitas regional dalam arena kancah kontestasi?
Tak ada yang istimewa. Tetapi, ketika malam merambat naik dan arena sudah tertata, semuanya menjadi menakjubkan. Menjelang pukul 21.00, panjak mulai menabuh gendang, alunan biola menyayat dan meninggi. Alunan musik paduan gamelan Jawa dan Bali bertalu seiring dengan suara kluncing yang rancak. Para penonton mengarahkan pandangannya ke terop bagian tengah, di mana terpal merah akan menjadi arena tarian semalam suntuk. Tak hanya penonton dewasa, laki-laki dan perempuan, anak-anak pun ikut menonton. Tak ketinggalan ibu-ibu pun berjubel di bawah pohon pisang, bahkan ada yang menggendong sambil menyusui anaknya. Sementara para tamu duduk di kursi sambil menikmati secangkir kopi panas dan pisang goreng.
Tampak, tiga perempuan berjalan beriring, Temu (49), Chusnul (24), dan Atik (15). Wajah-wajah gandrung itu sulit dikenali kecuali pengakuan bahwa mereka memang tampak cantik dan memukau. Dibalut kemben dengan hiasan penutup dada (ilat-ilat) dari beludru hitam dihiasi ornamen tertentu semakin memperindah penampilan mereka. Sampur merah disampirkan pada tengkuk dan dibiarkan terurai lepas di depan dada. Jarik batik membalut bagian bawah dan membentuk bagian pinggul dan sepasang kaos kaki putih membalut kaki gandrung melengkapi keindahan kostum yang dipakai. Sedangkan di kepala gandrung, terdapat omprok kuning keemasan yang menutupi rambut, di kiri-kanan omprok terdapat hiasan ular berkepala gatotkaca.
Sang kluncing pun mengawali dengan salam sugeng rawuh sambil nyeletuk,?ayo Tik, dikawiti nyambot gawene.? Musik pun mengalun mengiringi tiga gandrung menari. Jejer merupakan bagian awal pertunjukan gandrung, sebagai tari penghormatan kepada tuan rumah dan seluruh tamu yang hadir. Musik iringan gending jejer yang semula gegap gempita beralih menjadi irama lembut dan penari mulai melantunkan tembang Padha Nonton sebagai lagu wajib. Gending Padha Nonton terdiri atas delapan bait dengan tiga puluh dua baris. Umumnya dilagukan delapan baris saja dan untuk melagukan delapan baris berikutnya selalu dimainkan dua atau tiga lagu sebagai selingan. Saat selingan dilagukan disisipi pantun-pantun daerah setempat yang disebut basanan dan wangsalan. Syair Padha Nonton menggambarkan perjuangan untuk menggugah semangat rakyat Blambangan melawan segala bentuk penjajahan, sebuah pesan moral gandrung kepada penonton.
Seperti penuturan Anwar, penggendang gandrung Temu, model jejer gandrung berbeda-beda, ada yang memakai tari ngremo, ada juga yang tidak. Semua tergantung dari kemampuan masing-masing grup gandrung itu sendiri, terutama penggending dan penggendangnya. Yang penting semua perbedaan itu tidak sampai menghilangkan keutuhan dan keindahan tari gandrung. Bersama usainya jejer, dari beberapa meja penonton mulai tercium aroma alkohol.
Repenan (Ngrepen) dan Paju: Arena Menakar Harga Diri
Saat dimulainya paju, seorang atau beberapa orang gandrung biasanya menghampiri meja-meja yang dikitari tamu secara berurutan. Jika tidak, pasti akan menimbulkan kecemburuan antar meja (antar kalangan) yang berujung konflik antar tamu. Dimulai dari meja tamu pertama, kedua, dan seterusnya. Jika waktu paju masih tersisa, gandrung akan memulai lagi dari meja pertama. Saat gandrung duduk dalam satu meja, para tamu dipersilahkan memesan gending yang diinginkan. Setelah menyanyikan beberapa gending, para tamu yang berada di satu meja diajak untuk menari bersama, hanya empat orang pertama yang berhak mendapat sampur, setelah itu bergiliran. Di sini, gandrung menari sangat erotis, menggoyang-goyangkan pantat, bahu, sekaligus dada seiring dengan tepak kendang, sambil terus mengumbar senyum. Seakan-akan, sang gandrung menantang para pemaju terus menari.
Paju bagi para tamu, tidak hanya dimaknai sebagai hiburan saja, tetapi juga berarti persaingan dan ajang adu kemahiran dalam hal menari dan menyanyi. Saat paju, arena gandrung berubah menjadi arena kontestasi, baik tamu antar meja, antar pemaju saat menari, maupun kontestasi antar gandrung dengan pemaju. Lingkaran tamu dalam satu meja sebagai penanda dari satu kalangan yang menunjuk pada kelompok masing-masing. Kontestasi antar meja, juga dipertunjukkan lewat persaingan minuman keras. Antar meja terjadi jor-joran. Meja mana yang banyak menghabiskan botol minuman, dianggap sebagai kelompok terhormat dan memiliki banyak uang. Ada juga yang iuran untuk menambah minuman lebih banyak lagi. Menurut Anto, seorang pecinta gandrung, ?kalangan-nya bisa menghabiskan uang sampai Rp 1 juta bahkan lebih untuk membeli minuman. Minuman adalah practice selain kemahiran menari dan menyanyi.
Saat ngrepen atau melayani tamu dengan nyayian gending-gending pesanan tamu, gandrung akan menerima uang dari tamu, baik secara terbuka maupun secara sembunyi. Para tamu juga bersaing dalam menentukan harga sebuah gending. Harga satu gending memang tidak ditentukan, tergantung dari isi kantong dan kebaikan tamu. Ada yang puluhan ribu sampai ratusan ribu. Biasanya, pemaju yang banyak uang akan meminta banyak lagu kepada gandrung. Situasi ini yang membuat giliran antar meja menjadi lama, sehingga menyebabkan meja-meja lain merasa dikesampingkan, bahkan dapat menyulut kemarahan yang akhirnya berujung pada perkelahian fisik. Seperti yang dialami Tim Srinth!l yang sempat ditegur keras oleh salah satu kalangan ? apa dikira kami tidak punya uang, mentang-mentang dari Jakarta, bawa uang banyak!? kata seorang tamu karena gandrung duduk terlalu lama di meja Srinth!l. Kecemburuan semacam ini terkadang menimbulkan perkelahian yang mengakibatkan korban di antara para tamu.
Di sisi lain, suguhan tari pemaju yang serasi dan sesuai dengan tepak kendang akan menimbulkan rasa iri pemaju lain. Dalam tarian gandrung, keindahan bukan milik sepihak, melainkan keserasian tarian antara gandrung dengan pemaju secara bersama-sama. Sehingga keserasian antara pemaju dan gandrung dapat menciptakan gerakan tari yang indah dan enak ditonton. ?Susah lho, mas tari paju itu,? ungkap Agus, pemaju dari Boyolangu, ?di samping mengikuti kendang, kita juga harus mengikuti langkah gandrungnya, tari paju tak dapat dilakukan dengan asal menari,?ujarnya. Ada batas-batas tertentu yang harus dimengerti oleh pemaju, termasuk tidak boleh?nakal? dengan gandrungnya.
Sadar bahwa pemaju akan selalu memburu dan menggaetnya di saat-saat lengah, maka seorang gandrung dituntut kreatif untuk terus menyusun strategi pertahanan agar niat pemaju tidak kesampaian. Dalam kesenian ini, hal itu disebut tangar, yaitu siasat kreatif yang digunakan seorang gandrung untuk bertahan. ?Orang mau mencium itu kelihatan mas, makanya yang perlu diperhatikan adalah langkah kakinya,? ungkap Nur yang malam itu hampir dicium seorang pemaju, beruntung ia masih sempat mengelitkan mukanya ke samping. Terkadang, Nur menahan muka pemaju dengan tangannya secara sigap atau menggunakan sampur saat kondisi terjepit dimana pemaju tidak lagi menghiraukan peringatan gandrung dan kluncing. ?ketimbang diambung mas, mending leren solong (daripada dicium, lebih baik berhenti menari, mas),? kata Atik yang takut diputus pacarnya kalau sampai dicium pemaju. Yang menarik saat Nur sudah sangat terjepit posisinya, sementara pemaju terus memburu, Nur pun berhenti menari dan mengajukan kepalan tangan sambil berkata: ?sopan sethek riko lek (sopan sedikit kamu ya).? Akhirnya, saat gandrung dilanjutkan, tarian sang pemaju pun berubah, tetap agresif dalam batas-batas pentas gandrung. Kadangkala, di saat itu pemaju memasukkan uang ke dalam celah-celah dada, namun sepertinya bukan kebiasaan yang terus mengalir.
Pentas berubah menjadi arena kontestasi. Asumsi tentang eksploitasi tidak bisa lagi dilekatkan pada satu pihak, melainkan dua pihak yang saling berebut untuk mendapatkan tujuan masing-masing. Gandrung dengan kecanggihannya memainkan olah tubuh memanfaatkan emosi pemaju dan atau penonton untuk tidak segan-segan merogoh sakunya menghamburkan uang agar bisa menari bersama gandrung, wajar jika gandrung patut dijuluki sebagai sekar dalu (penguasa malam). Sebaliknya, pemaju pun bisa melakukan hal yang sama. Bermodalkan uang yang cukup banyak, mampu memperlihatkan kekuasaannya dan bermain bersama gandrung sesuai dengan selera yang ia miliki. Tapi, masihkah tersisa ruang bagi kita untuk memaknai pertunjukan itu sebagai realitas tanpa asumsi pelecehan dan eksploitasi yang merugikan?
Gandrung Menenun Siasat
Tak dapat dipungkiri, jika daerah Kemiren, Olihsari, Cungking, dan Rogojampi menjadi markas tempat tumbuh dan berkembangnya gandrung. Kebanyakan gandrung lahir dan besar di komunitas Using, kelompok masyarakat yang menggunakan bahasa Using, umumnya di bagian utara Kabupaten Banyuwangi, seperti Banyuwangi kota, Rogojampi, Giri, Kabat, dan sekitarnya. Banyak sudah gandrung yang secara turun-temurun menekuni seni tradisi yang satu ini sebagai torehan profesi dengan pengharapan akan hasil yang lebih baik daripada harus bersusah payah mencari sektor kerja lain. Mencari gandrung di sudut-sudut desa itu tidaklah sulit, entah karena popularitas atau tempat sebagai lahirnya seni Using itu, tetapi yang jelas banyaknya gandrung merupakan kemudahan tersendiri untuk bisa bersentuhan secara langsung atau kalau perlu melakukan panjer sewaktu-waktu.
Dari sekian banyak gandrung yang bertebaran, hampir semuanya sepakat bahwa menekuni gandrung merupakan tempuhan yang menghasilkan banyak hal. Mulai dari nama, uang, dan juga prestise. Dan dari sekian gandrung yang ada, hampir semuanya mengatakan bahwa pilihan mereka pada gandrung juga dikarenakan seolah-olah adanya jaminan perbaikan kondisi ekonomi keluarga. Memiliki keinginan kuat, bisa bermuka ramah disertai modal suara yang lumayan dirasa cukup untuk menjadi seorang gandrung. Sementara wajah cantik bukanlah satu-satunya keharusan, bahkan dalam beberapa hal, tampil cantik masih bisa diusahakan melalui cara-cara khusus dengan melibatkan tangan-tangan orang pandai. Mereka tidak harus memiliki ijazah pendidikan atau ketrampilan lain yang menunjang, karena itu bukan wilayah yang menjadi prasyarat untuk menjadi gandrung. Pada sisi inilah pengorbanan menjadi gandrung terbuktikan. Memulai debut sedari kecil ternyata harus rela kehilangan kesempatan duduk di bangku sekolah. Meski menjadi gandrung terkenal, Temu tak pernah menamatkan sekolah dasarnya. Hal serupa serupa juga terjadi pada Mudaiyah yang menjadi gandrung yang menjadi gandrung sejak usia 12 tahun. Sementara Atik menjadi gandrung setelah lulus SD, ia enggan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Lain halnya, Nur, Chusnul, dan Sunariyah, ketiganya sempat menamatkan sekolah menengah pertama.?Orang mengundang gandrung itu, tidak melihat sekolahnya kog mas,? ujar Chusnul ketika ditemui Srinth!l saat ngrepenan.
Keenganan untuk sekolah sebenarnya juga diakibatkan problem ekonomi keluarga. Banyak gandrung lahir dan besar dari keluarga buruh tani, pedagang kecil, buruh bangunan, dan sektor informal lainnya. Pendapatan keluarga gandrung sangat pas-pasan, cukup untuk makan sehari-hari. Tempat tinggalnya pun memprihatinkan, bahkan ada yang dindingnya terbuat dari gedhek, berlantai tanah, tanpa halaman rumah. Namun, ada juga orang tua gandrung menjadi guru, seperti Sunariyah. Orangtuanya tinggal Gilimanuk, rumahnya dipenuhi dengan alat musik, sehingga kesenian bukan sesuatu yang asing.
Seketika perempuan sudah menjadi gandrung, maka tidak segan-segan ia memanfaatkannya sebagai lahan untuk memperoleh banyak hal. Tampil satu malam suntuk dan menghabiskan malam-malamnya sampai satu bulan penuh tidak membuat gandrung mengeluh atau merasa pekerjaannya sebagai beban hidup yang menyiksa. Justru pada saat itulah, waktu dan kesempatan harus digunakan semaksimal mungkin mengingat profesi gandrung hanyalah profesi yang sekilas bisa digeluti dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.
Kehati-hatian dalam mengatur hidup banyak ditunjukkan gandrung dalam kehidupan sehari-hari. Banyak gandrung yang sadar bahwa berkarir sebagai gandrung bukanlah profesi seumur hidup yang ketika masa tua akan mendapat pensiunan. Itulah sebabnya mengapa gandrung merasa perlu untuk sedikit banyak menyisihkan sebagian hasil jerih payahnya dan disimpan untuk hari tua. Pemilikan gandrung atas tanah yang lumayan luas, sapi ternak, dan bahkan warung merupakan hal yang lumrah bagi seorang gandrung. Maklum, dalam hitung-hitungan kasar, gandrung bisa mendapat masukan sekitar Rp 500 ribu dalam sekali pentas. Menurut Temu, sulitnya hidup gandrung di masa tuanya lebih banyak karena gaya hidup ?hura-hura? di masa laris dan atau faktor suami yang menghamburkan pendapatannya. Oleh karena itu, Temu lebih berhati-hati dalam mengelola penghasilannya. Saat ini, Temu memiliki rumah sendiri yang cukup besar di antara tetangganya, 1 hektar sawah, 3 pasang kerbau, sementara di bagian depan rumahnya dibuat warung kecil untuk berjualan kelontong. Memang, mengandalkan menggandrung saja terkadang tidak cukup, umumnya mereka mempunyai pekerjaan sampingan, seperti Sunariyah yang merajut tas dari Bali, Chusnul sebagai score girl salah satu tempat bilyard di kota Banyuwangi.
Kendati begitu, gandrung tetaplah gandrung. Ia adalah sosok perempuan yang hidup dalam lingkaran yang ragam, ada kalanya ramah dan ada kalanya pula kejam. Kehidupan gemerlap di tengah malam tidak selamanya menyenangkan ketika harus bersentuhan dengan dunia keseharian. Persinggungan dan gesekan sebagai perempuan seni yang ?menjajakan? dirinya sering tidak diterima oleh orang lain secara utuh. Alih-alih, mereka sering digiring dalam pemaknaan dan penerimaan sebagai pihak yang terpojok, kaum rendahan, dan sederet vonis yang serba tidak mengenakkan. Seperti halnya perempuan seni tradisi di tengah yang lain (ledhek, jaipong, gembyong, atau yang lainnya) menjadi sasaran cemooh, sindiran, dan ?fatwa haram? masyarakat sekitar yang harus ditelan sebagai imbas dari konstruksi kuasa tertentu yang merasa terusik oleh perilaku gandrung di arena pentas.
(Lebih lengkapnya baca di Jurnal Srinth!l edisi 3: Gandrung: Demi Hidup Menyisir Malam)
Tak ada yang istimewa. Tetapi, ketika malam merambat naik dan arena sudah tertata, semuanya menjadi menakjubkan. Menjelang pukul 21.00, panjak mulai menabuh gendang, alunan biola menyayat dan meninggi. Alunan musik paduan gamelan Jawa dan Bali bertalu seiring dengan suara kluncing yang rancak. Para penonton mengarahkan pandangannya ke terop bagian tengah, di mana terpal merah akan menjadi arena tarian semalam suntuk. Tak hanya penonton dewasa, laki-laki dan perempuan, anak-anak pun ikut menonton. Tak ketinggalan ibu-ibu pun berjubel di bawah pohon pisang, bahkan ada yang menggendong sambil menyusui anaknya. Sementara para tamu duduk di kursi sambil menikmati secangkir kopi panas dan pisang goreng.
Tampak, tiga perempuan berjalan beriring, Temu (49), Chusnul (24), dan Atik (15). Wajah-wajah gandrung itu sulit dikenali kecuali pengakuan bahwa mereka memang tampak cantik dan memukau. Dibalut kemben dengan hiasan penutup dada (ilat-ilat) dari beludru hitam dihiasi ornamen tertentu semakin memperindah penampilan mereka. Sampur merah disampirkan pada tengkuk dan dibiarkan terurai lepas di depan dada. Jarik batik membalut bagian bawah dan membentuk bagian pinggul dan sepasang kaos kaki putih membalut kaki gandrung melengkapi keindahan kostum yang dipakai. Sedangkan di kepala gandrung, terdapat omprok kuning keemasan yang menutupi rambut, di kiri-kanan omprok terdapat hiasan ular berkepala gatotkaca.
Sang kluncing pun mengawali dengan salam sugeng rawuh sambil nyeletuk,?ayo Tik, dikawiti nyambot gawene.? Musik pun mengalun mengiringi tiga gandrung menari. Jejer merupakan bagian awal pertunjukan gandrung, sebagai tari penghormatan kepada tuan rumah dan seluruh tamu yang hadir. Musik iringan gending jejer yang semula gegap gempita beralih menjadi irama lembut dan penari mulai melantunkan tembang Padha Nonton sebagai lagu wajib. Gending Padha Nonton terdiri atas delapan bait dengan tiga puluh dua baris. Umumnya dilagukan delapan baris saja dan untuk melagukan delapan baris berikutnya selalu dimainkan dua atau tiga lagu sebagai selingan. Saat selingan dilagukan disisipi pantun-pantun daerah setempat yang disebut basanan dan wangsalan. Syair Padha Nonton menggambarkan perjuangan untuk menggugah semangat rakyat Blambangan melawan segala bentuk penjajahan, sebuah pesan moral gandrung kepada penonton.
Seperti penuturan Anwar, penggendang gandrung Temu, model jejer gandrung berbeda-beda, ada yang memakai tari ngremo, ada juga yang tidak. Semua tergantung dari kemampuan masing-masing grup gandrung itu sendiri, terutama penggending dan penggendangnya. Yang penting semua perbedaan itu tidak sampai menghilangkan keutuhan dan keindahan tari gandrung. Bersama usainya jejer, dari beberapa meja penonton mulai tercium aroma alkohol.
Repenan (Ngrepen) dan Paju: Arena Menakar Harga Diri
Saat dimulainya paju, seorang atau beberapa orang gandrung biasanya menghampiri meja-meja yang dikitari tamu secara berurutan. Jika tidak, pasti akan menimbulkan kecemburuan antar meja (antar kalangan) yang berujung konflik antar tamu. Dimulai dari meja tamu pertama, kedua, dan seterusnya. Jika waktu paju masih tersisa, gandrung akan memulai lagi dari meja pertama. Saat gandrung duduk dalam satu meja, para tamu dipersilahkan memesan gending yang diinginkan. Setelah menyanyikan beberapa gending, para tamu yang berada di satu meja diajak untuk menari bersama, hanya empat orang pertama yang berhak mendapat sampur, setelah itu bergiliran. Di sini, gandrung menari sangat erotis, menggoyang-goyangkan pantat, bahu, sekaligus dada seiring dengan tepak kendang, sambil terus mengumbar senyum. Seakan-akan, sang gandrung menantang para pemaju terus menari.
Paju bagi para tamu, tidak hanya dimaknai sebagai hiburan saja, tetapi juga berarti persaingan dan ajang adu kemahiran dalam hal menari dan menyanyi. Saat paju, arena gandrung berubah menjadi arena kontestasi, baik tamu antar meja, antar pemaju saat menari, maupun kontestasi antar gandrung dengan pemaju. Lingkaran tamu dalam satu meja sebagai penanda dari satu kalangan yang menunjuk pada kelompok masing-masing. Kontestasi antar meja, juga dipertunjukkan lewat persaingan minuman keras. Antar meja terjadi jor-joran. Meja mana yang banyak menghabiskan botol minuman, dianggap gandrung, ?kalangan-nya bisa menghabiskan uang sampai Rp 1 juta bahkan lebih untuk membeli minuman. Minuman adalah practice selain kemahiran menari dan menyanyi.
Saat ngrepen atau melayani tamu dengan nyayian gending-gendinsebagai kelompok terhormat dan memiliki banyak uang. Ada juga yang iuran untuk menambah minuman lebih banyak lagi. Menurut Anto, seorang pecinta g pesanan tamu, gandrung akan menerima uang dari tamu, baik secara terbuka maupun secara sembunyi. Para tamu juga bersaing dalam menentukan harga sebuah gending. Harga satu gending memang tidak ditentukan, tergantung dari isi kantong dan kebaikan tamu. Ada yang puluhan ribu sampai ratusan ribu. Biasanya, pemaju yang banyak uang akan meminta banyak lagu kepada gandrung. Situasi ini yang membuat giliran antar meja menjadi lama, sehingga menyebabkan meja-meja lain merasa dikesampingkan, bahkan dapat menyulut kemarahan yang akhirnya berujung pada perkelahian fisik. Seperti yang dialami Tim Srinth!l yang sempat ditegur keras oleh salah satu kalangan ? apa dikira kami tidak punya uang, mentang-mentang dari Jakarta, bawa uang banyak!? kata seorang tamu karena gandrung duduk terlalu lama di meja Srinth!l. Kecemburuan semacam ini terkadang menimbulkan perkelahian yang mengakibatkan korban di antara para tamu.
Di sisi lain, suguhan tari pemaju yang serasi dan sesuai dengan tepak kendang akan menimbulkan rasa iri pemaju lain. Dalam tarian gandrung, keindahan bukan milik sepihak, melainkan keserasian tarian antara gandrung dengan pemaju secara bersama-sama. Sehingga keserasian antara pemaju dan gandrung dapat menciptakan gerakan tari yang indah dan enak ditonton. ?Susah lho, mas tari paju itu,? ungkap Agus, pemaju dari Boyolangu, ?di samping mengikuti kendang, kita juga harus mengikuti langkah gandrungnya, tari paju tak dapat dilakukan dengan asal menari,?ujarnya. Ada batas-batas tertentu yang harus dimengerti oleh pemaju, termasuk tidak boleh?nakal? dengan gandrungnya.
Sadar bahwa pemaju akan selalu memburu dan menggaetnya di saat-saat lengah, maka seorang gandrung dituntut kreatif untuk terus menyusun strategi pertahanan agar niat pemaju tidak kesampaian. Dalam kesenian ini, hal itu disebut tangar, yaitu siasat kreatif yang digunakan seorang gandrung untuk bertahan. ?Orang mau mencium itu kelihatan mas, makanya yang perlu diperhatikan adalah langkah kakinya,? ungkap Nur yang malam itu hampir dicium seorang pemaju, beruntung ia masih sempat mengelitkan mukanya ke samping. Terkadang, Nur menahan muka pemaju dengan tangannya secara sigap atau menggunakan sampur saat kondisi terjepit dimana pemaju tidak lagi menghiraukan peringatan gandrung dan kluncing. ?ketimbang diambung mas, mending leren solong (daripada dicium, lebih baik berhenti menari, mas),? kata Atik yang takut diputus pacarnya kalau sampai dicium pemaju. Yang menarik saat Nur sudah sangat terjepit posisinya, sementara pemaju terus memburu, Nur pun berhenti menari dan mengajukan kepalan tangan sambil berkata: ?sopan sethek riko lek (sopan sedikit kamu ya).? Akhirnya, saat gandrung dilanjutkan, tarian sang pemaju pun berubah, tetap agresif dalam batas-batas pentas gandrung. Kadangkala, di saat itu pemaju memasukkan uang ke dalam celah-celah dada, namun sepertinya bukan kebiasaan yang terus mengalir.
Pentas berubah menjadi arena kontestasi. Asumsi tentang eksploitasi tidak bisa lagi dilekatkan pada satu pihak, melainkan dua pihak yang saling berebut untuk mendapatkan tujuan masing-masing. Gandrung dengan kecanggihannya memainkan olah tubuh memanfaatkan emosi pemaju dan atau penonton untuk tidak segan-segan merogoh sakunya menghamburkan uang agar bisa menari bersama gandrung, wajar jika gandrung patut dijuluki sebagai sekar dalu (penguasa malam). Sebaliknya, pemaju pun bisa melakukan hal yang sama. Bermodalkan uang yang cukup banyak, mampu memperlihatkan kekuasaannya dan bermain bersama gandrung sesuai dengan selera yang ia miliki. Tapi, masihkah tersisa ruang bagi kita untuk memaknai pertunjukan itu sebagai realitas tanpa asumsi pelecehan dan eksploitasi yang merugikan?
Gandrung Menenun Siasat
Tak dapat dipungkiri, jika daerah Kemiren, Olihsari, Cungking, dan Rogojampi menjadi markas tempat tumbuh dan berkembangnya gandrung. Kebanyakan gandrung lahir dan besar di komunitas Using, kelompok masyarakat yang menggunakan bahasa Using, umumnya di bagian utara Kabupaten Banyuwangi, seperti Banyuwangi kota, Rogojampi, Giri, Kabat, dan sekitarnya. Banyak sudah gandrung yang secara turun-temurun menekuni seni tradisi yang satu ini sebagai torehan profesi dengan pengharapan akan hasil yang lebih baik daripada harus bersusah payah mencari sektor kerja lain. Mencari gandrung di sudut-sudut desa itu tidaklah sulit, entah karena popularitas atau tempat sebagai lahirnya seni Using itu, tetapi yang jelas banyaknya gandrung merupakan kemudahan tersendiri untuk bisa bersentuhan secara langsung atau kalau perlu melakukan panjer sewaktu-waktu.
Dari sekian banyak gandrung yang bertebaran, hampir semuanya sepakat bahwa menekuni gandrung merupakan tempuhan yang menghasilkan banyak hal. Mulai dari nama, uang, dan juga prestise. Dan dari sekian gandrung yang ada, hampir semuanya mengatakan bahwa pilihan mereka pada gandrung juga dikarenakan seolah-olah adanya jaminan perbaikan kondisi ekonomi keluarga. Memiliki keinginan kuat, bisa bermuka ramah disertai modal suara yang lumayan dirasa cukup untuk menjadi seorang gandrung. Sementara wajah cantik bukanlah satu-satunya keharusan, bahkan dalam beberapa hal, tampil cantik masih bisa diusahakan melalui cara-cara khusus dengan melibatkan tangan-tangan orang pandai. Mereka tidak harus memiliki ijazah pendidikan atau ketrampilan lain yang menunjang, karena itu bukan wilayah yang menjadi prasyarat untuk menjadi gandrung. Pada sisi inilah pengorbanan menjadi gandrung terbuktikan. Memulai debut sedari kecil ternyata harus rela kehilangan kesempatan duduk di bangku sekolah. Meski menjadi gandrung terkenal, Temu tak pernah menamatkan sekolah dasarnya. Hal serupa serupa juga terjadi pada Mudaiyah yang menjadi gandrung yang menjadi gandrung sejak usia 12 tahun. Sementara Atik menjadi gandrung setelah lulus SD, ia enggan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Lain halnya, Nur, Chusnul, dan Sunariyah, ketiganya sempat menamatkan sekolah menengah pertama.?Orang mengundang gandrung itu, tidak melihat sekolahnya kog mas,? ujar Chusnul ketika ditemui Srinth!l saat ngrepenan.
Keenganan untuk sekolah sebenarnya juga diakibatkan problem ekonomi keluarga. Banyak gandrung lahir dan besar dari keluarga buruh tani, pedagang kecil, buruh bangunan, dan sektor informal lainnya. Pendapatan keluarga gandrung sangat pas-pasan, cukup untuk makan sehari-hari. Tempat tinggalnya pun memprihatinkan, bahkan ada yang dindingnya terbuat dari gedhek, berlantai tanah, tanpa halaman rumah. Namun, ada juga orang tua gandrung menjadi guru, seperti Sunariyah. Orangtuanya tinggal Gilimanuk, rumahnya dipenuhi dengan alat musik, sehingga kesenian bukan sesuatu yang asing.
Seketika perempuan sudah menjadi gandrung, maka tidak segan-segan ia memanfaatkannya sebagai lahan untuk memperoleh banyak hal. Tampil satu malam suntuk dan menghabiskan malam-malamnya sampai satu bulan penuh tidak membuat gandrung mengeluh atau merasa pekerjaannya sebagai beban hidup yang menyiksa. Justru pada saat itulah, waktu dan kesempatan harus digunakan semaksimal mungkin mengingat profesi gandrung hanyalah profesi yang sekilas bisa digeluti dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.
Kehati-hatian dalam mengatur hidup banyak ditunjukkan gandrung dalam kehidupan sehari-hari. Banyak gandrung yang sadar bahwa berkarir sebagai gandrung bukanlah profesi seumur hidup yang ketika masa tua akan mendapat pensiunan. Itulah sebabnya mengapa gandrung merasa perlu untuk sedikit banyak menyisihkan sebagian hasil jerih payahnya dan disimpan untuk hari tua. Pemilikan gandrung atas tanah yang lumayan luas, sapi ternak, dan bahkan warung merupakan hal yang lumrah bagi seorang gandrung. Maklum, dalam hitung-hitungan kasar, gandrung bisa mendapat masukan sekitar Rp 500 ribu dalam sekali pentas. Menurut Temu, sulitnya hidup gandrung di masa tuanya lebih banyak karena gaya hidup ?hura-hura? di masa laris dan atau faktor suami yang menghamburkan pendapatannya. Oleh karena itu, Temu lebih berhati-hati dalam mengelola penghasilannya. Saat ini, Temu memiliki rumah sendiri yang cukup besar di antara tetangganya, 1 hektar sawah, 3 pasang kerbau, sementara di bagian depan rumahnya dibuat warung kecil untuk berjualan kelontong. Memang, mengandalkan menggandrung saja terkadang tidak cukup, umumnya mereka mempunyai pekerjaan sampingan, seperti Sunariyah yang merajut tas dari Bali, Chusnul sebagai score girl salah satu tempat bilyard di kota Banyuwangi.
Kendati begitu, gandrung tetaplah gandrung. Ia adalah sosok perempuan yang hidup dalam lingkaran yang ragam, ada kalanya ramah dan ada kalanya pula kejam. Kehidupan gemerlap di tengah malam tidak selamanya menyenangkan ketika harus bersentuhan dengan dunia keseharian. Persinggungan dan gesekan sebagai perempuan seni yang ?menjajakan? dirinya sering tidak diterima oleh orang lain secara utuh. Alih-alih, mereka sering digiring dalam pemaknaan dan penerimaan sebagai pihak yang terpojok, kaum rendahan, dan sederet vonis yang serba tidak mengenakkan. Seperti halnya perempuan seni tradisi di tengah yang lain (ledhek, jaipong, gembyong, atau yang lainnya) menjadi sasaran cemooh, sindiran, dan ?fatwa haram? masyarakat sekitar yang harus ditelan sebagai imbas dari konstruksi kuasa tertentu yang merasa terusik oleh perilaku gandrung di arena pentas.
(Lebih lengkapnya baca di Jurnal Srinth!l edisi 3: Gandrung: Demi Hidup Menyisir Malam)
0 Comments